Part 4 : Teman Lama

528 27 0
                                    

Perlahan, aku turun dari motor butut yang telah menemaniku selama hampir lima tahun ini. Lampu teras masih belum menyala, padahal hari sudah beranjak senja.

Bapak pasti lupa menghidupkan lampu sebelum pergi ke Mesjid. Syukurlah, dia tidak ada di rumah, batinku.

Dengan langkah gontai dan kepala yang berdenyut karena habis menangis, aku berjalan ke depan pintu. Baru saja hendak memutar kunci pintu, seseorang memanggilku dari belakang.

"Hai, Sha. Apa kabar? Sudah lama kita tidak berjumpa," sapa seorang perempuan yang suaranya seperti aku kenali.

Butuh beberapa detik bagiku untuk mengenali perempuan tersebut karena hari yang sudah mulai gelap dan ditambah lagi tidak ada lampu teras. Ternyata dia teman masa kecilku yang rumah orang tuanya tidak jauh dari rumahku.

Setelah menamatkan SMA, dia langsung menikah dan sekarang punya empat orang anak perempuan. Mereka tinggal di kota sebelah, sekitar dua jam perjalanan dari kotaku. Kami memang jarang berjumpa, walau setiap bulan dia selalu datang mengunjungi orang tuanya. Aku mengetahui itu dari cerita ibuku. Kesibukanku sebagai tenaga keuangan sekaligus penyiar di sebuah stasiun radio swasta, membuatku jarang bergaul dengan tetangga.

"Iya, sudah hampir enam bulan tidak berjumpa ya," jawabku sambil tersenyum.

Entah seperti apa senyumku saat itu, karena mata yang sembab dan hati yang masih sakit akibat perkataan Uda-ku tadi. Dalam hati aku berdoa, semoga dia tidak bisa melihat mata sembabku.

Aku menatap rombongan kecil tersebut, empat orang anak kecil dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Anaknya yang sulung sudah kelas enam SD, sedangkan si bungsu berusia sekitar satu tahun dan masih dalam gendongannya. Sekilas rasa iri menyerbu hatiku, mengusik jiwa yang sepi. Andaikan saja ....

Huss ... jangan berandai-andai, itu tidak bagus. Takdirnya dan takdirmu, sudah ditentukan. Tidak boleh iri, kata si putih yang ada dalam hatiku. Sedangkan si hitam, terus saja berusaha menyebarkan rasa iri dan dengki .

Astaghfirullah ..., aku beristighfar dalam hati.

"Wah, anakmu sudah besar, Mai," kataku sambil tersenyum manis kepada Maya dan keempat anak kecil tersebut.

"Iya, sudah besar. Sudah mau punya menantu pula aku, tetapi kau belum menikah juga. Mau tunggu aku punya cucu dulu?" Perempuan itu berkata lantang tanpa jeda.

Saking terkejutnya, aku hanya bisa membuka mulut tanpa mampu berkata.

Apa? Dia mau menikahkan anaknya setelah tamat SD? batinku menjerit. Kelelahan membuatku tidak bisa berpikir dengan sempurna sehingga terlambat menyadari sindirannya.

"Kapan kau menikah? Diantara teman kita, kau sendiri saja yang belum menikah. Jangan lama-lama, nanti jadi perawan tua. Kalau sudah tua nanti susah punya anak. Lihatlah, anakku sudah empat, si Lusi anaknya dua, Ami malah punya anak lima," katanya sambil tersenyum.

Kata-kata perempuan tersebut seperti bunyi terompet dalam perang Bharatayuddha.

Aku menelan ludah. Sudah, cukup. Tanpa sadar, tanganku terkepal. Dalam satu hari ini, sudah dua kali aku mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang bagaikan pisau tajam menembus langsung ke ulu hati. Pisau yang ditancapkan oleh orang-orang yang dulu pernah dekat denganku. Jantungku berdegup cepat.

Kenapa banyak sekali orang bodoh yang suka menghakimi orang lain di dunia ini? Merasa sombong dan menganggap diri mereka jauh lebih baik dari orang lain. Tidakkah mereka tahu bahwa jodoh dan berapa jumlah anak itu sudah menjadi ketetapan Tuhan, batinku.

"Sabar Rysha ...," bisikku. Aku berusaha keras untuk menahan emosi dan tidak teriak.

Dalam hitungan sepuluh detik, aku menarik nafas dalam-dalam, sampai akhirnya bisa mengendalikan diriku.

Hampir saja aku menyumpal mulut perempuan itu dengan sepatu, supaya dia belajar, bagaimana caranya menggunakan bahasa yang baik dan menghargai perasaan orang lain.

"Tunggu saja undangan dariku," jawabku singkat sambil membuka pintu.

"Aku masuk dulu ya, belum sholat maghrib," ujarku sambil memandangnya sekilas. Tidak ada basa basi untuk menyuruhnya masuk. Sungguh, aku takut. Kalau nanti sampai harus menyajikan kopi sianida untuknya. Hari ini, aku benar-benar ingin membunuh seseorang.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang