Setelah menumpahkan segala beban dalam kepalaku, aku pun bisa bernafas lega. Arina kembali ke dapur dan mengambil segelas air putih untukku.
"Sepertinya hinaan tentang perawan tua itu sangat menganggumu, ya?" kata Arina memulai percakapan setelah aku menghabiskan air di gelasku.
"Ahh ... itu sudah biasa, Rin. Tetapi ketika yang mengatakannya saudara sendiri, rasanya sangat sakit," kataku sambil bersandar di sofa.
"Mungkin Da Win juga dalam keadaan tertekan karena penyakit ibumu, Sha. Kau sendiri pernah bilang kalau dia sangat menyayangi ibumu," kata Arina.
"Mungkin. Tetapi menyalahkanku karena penyakit Mamak ... sungguh tidak masuk akal. Apakah selama ini Mamak juga tidak memikirkannya? Aku pernah lihat Mamak menangis karena dia tidak menelepon berbulan-bulan," kataku membela diri.
"Ya, seorang ibu pasti akan selalu memikirkan anak-anaknya. Aku seorang ibu, jadi aku tahu seperti apa rasanya, Sha. Bagaimanapun, kata-kata Da Win memang tidak bijak, tetapi cobalah untuk memaafkannya. Dengan memaafkan, hidupmu pasti lebih bahagia," kata Arina sambil tersenyum.
Aku hanya menarik nafas panjang, mencoba meresapi kata-kata Arina. Aku memang tidak mau menyimpan dendam, apalagi dengan saudara sendiri. Tetapi saat ini, aku membutuhkan waktu untuk menyembuhkan hatiku yang terlanjur terluka.
"Sudah berapa lama kau tidak olahraga atau lari pagi? Kau tidak ikut melatih taekwondo lagi?" tanya Arina sambil menatapku dalam.
Aku mengerutkan kening sambil mencoba mengingat, kapan terakhir kali melakukan olahraga atau sekedar jogging di pagi hari.
"Rasanya sudah lama sekali. Aku tidak ingat, mungkin satu bulan karena kesibukanku di kantor dan juga penyakit Mamak," jawabku singkat. "Kenapa kau tanyakan itu?" sambungku sambil menatap Arina dengan heran.
"Ada yang bilang kalau olahraga bisa membantu kita mengatur emosi dan menghilangkan stress. Lebih baik kau mulai lagi berolahraga. Mungkin jalan kaki di Car Free Day seminggu sekali atau menjenguk anak didikmu di kelas taekwondo." Arina berkata sambil tersenyum.
Aku pun hanya mengangguk mendengar saran Arina. Dia memang benar, aku selalu merasa lebih baik setelah melakukan olah raga rutin yang sempat aku tinggalkan dalam satu bulan ini.
"Apakah kau tetap melakukan sholat tahajud dan sholat hajat seperti yang aku sarankan sebelumnya?" kata Arina yang kusambut dengan gelengan kepala.
"Cobalah memulai lagi, Sha. Kau sudah tahu bukan, ketika aku sangat putus asa dan tidak punya harapan lagi, Allah menjawab doa-doaku. Aku selalu mengadu kepada Allah dalam sholat tahajud, disaat banyak manusia memojokkanku," kata Arina sambil menghela nafas, mengingat masa-masa berat yang pernah dia alami.
Mertua Arina pernah memintanya bercerai karena dia belum bisa memberikan keturunan untuk Bang Zainal. Arina juga pernah di vonis dokter tidak bisa memiliki seorang anak. Pada saat itulah dia memasrahkan diri kepada Allah melalui sholat tahajud dan sholat hajat yang dilakukannya. Dengan dukungan suaminya, mereka terus konsultasi dari satu dokter ke dokter yang lain. Beberapa bulan kemudian, doa-doa Arina terjawab. Dia hamil. Sungguh mudah bagi Allah untuk membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Kenapa aku tidak pernah belajar dari kisah mereka? batinku.
"Kun Fayakun. KalauAllah berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin. Percayalah, doa-doamu pastiakan terjawab," kata Arina membuyarkan lamunanku. Aku pun tersenyum, hatikumenjadi lebih tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU BUKAN PERAWAN TUA
Romansa(SUDAH TERBIT) Alhamdulillah. Cerita ini sudah menjadi sebuah Novel. Open PO tanggal 08 - 18 September. Harga PO Rp. 85.000. Harga normal setelah PO Rp. 95.000. BLURB Kenapa masalah jodoh ini menjadi begitu rumit? Rysha Dewi, seorang gadis usia 30...