Part 83 : Berita

145 13 0
                                    


Momen yang dinanti umat muslim telah tiba, suara takbir menggema di pagi lebaran. Udara sejuk pagi ini, setelah diguyur hujan lebat tidak menyurutkan semangat kami untuk melaksanakan salat idul fitri. Bapak, Da Ip, Ni Lisa dan keponakanku kelihatan sangat gembira. Aku pun tersenyum melihat kebahagiaan mereka.

Setelah melaksanakan salat berjamaah, kami saling bermaaf-maafan dengan tetangga atau siapa pun yang sempat berjumpa. Tidak sedikit di antara mereka menanyakan tentang pernikahanku. Bagaimanapun kabar pernikahan sudah terdengar oleh para tetangga, tetapi undangan memang belum disebarkan. Aku tidak bisa membayangkan, seperti apa gosip tentang diriku seandainya udangan telah beredar. Diam-diam, aku bersyukur dalam hati.

"Mohon maaf lahir dan bathin, ya Sha," kata Maya. Kami berjumpa ketika baru keluar dari Masjid setelah salat Eid.

"Sama-sama, mohon maaf juga jika ada salah dan khilaf," ujarku sambil menyambut tangan Maya.

"Eh, aku dengar kamu mau nikah setelah lebaran ini. Syukurlah, akhirnya nikah juga. Sekarang umurmu sudah tiga puluh tiga, kan?" Dia menatapku sambil tersenyum.

Ingin rasanya aku mencabut bulu mata palsu yang dipakainya itu, hatiku sangat geram. Apa urusannya dengan umurku? Apakah aku pernah menyusahkan hidupnya? Semua pemikiran buruk langsung datang menyerangku. Seketika aku ingat kalau kami baru saja saling memaafkan.

Akhirnya aku tersenyum. "InshaAllah, aku akan menikah setelah lebaran. Namun lebaran tahun berapa, aku belum bisa kasih tahu. Tunggu undangannya saja ya!" kataku.

Aku pun berlalu dari hadapan Maya yang masih menatapku dengan bingung.

***

Setelah sibuk seharian melayani tamu yang datang silih berganti, akhirnya aku bisa beristirahat malam ini. Lebaran tahun ini kami lalui dengan sederhana, tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Apalagi kami masih berduka dengan kepergian Mamak. Ni Lisa cuma membeli kue lebaran dari pasar dan aku juga memesan kue bolu dari tetangga.

Perlahan kubuka ponsel dan mengecek pesan masuk. Ada panggilan tidak terjawab dari Andika, Ni Fit dan Rahma. Aku mengerutkan kening, kenapa Rahma, teman kos Putri meneleponku? Setelah beberapa detik berpikir, aku pun menelepon Ni Fit.

{Minal aidin wal faidzin, Uni. Maaf, baru bisa nelepon Uni sekarang. Apakah Ni Fit sekeluarga, sehat?} Kataku mengawali percakapan.

{Sama-sama, Sha. Apakah Andika ada menelepon?}

Suara Ni Fit terdengar aneh ditelingaku. Kenapa dia menanyakan Andika? Sampai saat ini, belum ada yang mengetahui tentang pernikahanku yang batal, kecuali anggota keluargaku.

{Iya, tetapi tidak terangkat. Ada apa, Uni?}

{Kau ... sudah tahu tentang Putri? Apakah ada yang mengabarimu?}

Ni Fit kembali membuatku bertanya-tanya. Suaranya seketika berubah, seakan orang yang sedang menahan tangis. Tiba-tiba aku ingat dengan Rahma yang juga mencoba menghubungiku. Putri memang tidak pulang ke rumah orang tuanya tahun ini, dia juga selalu masuk kantor selama ramadan. Apa yang terjadi dengan Putri?

{Apa yang terjadi dengan Putri, Uni? Tadi Rahma juga menelepon, tetapi tidak terangkat.}

Tiba-tiba Ni Fit menangis di seberang sana, dia pun menjawabku dengan terisak.

{Putri ... masuk rumah sakit, dia mencoba bunuh diri}

Aku terkejut, kenapa gadis itu melakukan hal yang bodoh tersebut? Setelah mendengar penjelasan dari Ni Fit, aku pun menutup telepon dengan perasaan tidak percaya.

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang