Part 10 : Takut Kehilangan

420 22 0
                                    

Setelah menyelesaikan tugasku di radio, aku langsung berpacu dengan waktu. Kemacetan lalu lintas di sore hari membuatku terlambat lima belas menit dari jadwal operasi ibuku. Dengan cepat aku berjalan di sepanjang lorong rumah sakit menuju kamar ibuku. Aku berharap masih bisa berjumpa ibuku. Walau sudah ada bapak dan Da Ip serta Ni Lisa, dia pasti sangat sedih kalau aku tidak ada di sana. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaannya saat ini.

Aku tiba tepat pada saat ibuku mau dibawa keluar dari kamarnya menuju ruang operasi. Ibuku langsung menangis ketika melihat kedatanganku.

"Maaf, Mak. Rysha terlambat. Mamak harus kuat ya, jangan takut, kami semua di sini bersama mamak." Kataku sambil mengenggam tangan ibuku.

"Jangan menangis, Mak. Rysha sudah datang. Mamak harus tenang. Banyak berzikir dan baca ayat kursi. InshaAllah Mamak akan sembuh." Ni Lisa mencoba membujuk dan menghapus air mata ibuku dengan tissu. Kakak iparku ini memang menyayangi ibuku seperti orang tuanya sendiri.

Salah satu perawat mulai mempersiapkan tempat tidur beroda milik ibuku. "Kita harus menuju ruang operasi sekarang. Ibu jangan sedih, semua keluarga ibu disini. Nanti kalau sedih terus, tekanan darahnya bisa naik, operasinya bisa batal. Ibu harus tenang, banyak berdoa ya, Bu," kata perawat cantik berseragam hijau itu dengan ramah.

Dengan cekatan, dua perawat mendorong tempat tidur beroda ibuku melewati lorong rumah sakit menuju kamar operasi. Kami semua berjalan beriringan di belakang mereka. Setelah sampai di depan ruang operasi, kami harus menunggu sekitar lima menit. Salah satu perawat masuk ke ruang operasi sambil membawa berkas riwayat kesehatan ibuku. Ada banyak keluarga pasien yang duduk di depan ruang operasi ini dengan wajah cemas. Aku tahu, tidak mudah menunggu keluarga kita yang sedang sakit terutama di kamar operasi, karena apa pun bisa saja terjadi.

Aku mengenggam tangan ibuku, sambil menghapus air matanya yang terus berjatuhan. "Mamak, kami semua di sini. Lihatlah, ada Bapak, Da ip, Ni Lisa ... kami semua mendoakan Mamak supaya operasinya lancar dan cepat sembuh. Kita bisa pulang ke rumah sama-sama. Jadi mamak harus tenang, baca istighfar, berdoa, jangan berpikir yang jelek. Kami semua sayang Mamak. Kami masih membutuhkan Mamak." Aku berusaha menghibur ibuku, walau aku sendiri harus menahan air mataku yang hampir tumpah. Aku tidak boleh menangis, itu hanya akan membuat ibuku semakin sedih.

"Mamak takut, Sha. Bagaimana kalau mereka memotong kaki Mamak," kata ibuku sambil terisak.

"Ssst ... Mamak tidak boleh berpikir negatif dulu. Yang penting sekarang Mamak bisa sembuh." Da Ipdal ikut bicara membujuk ibuku sambil membelai rambutnya. Sedangkan bapak hanya diam mengamati kami. Bapak memang tipe laki-laki yang tidak banyak bicara, tetapi aku tahu bahwa dia sangat menyayangi ibuku.

Salah satu perawat keluar dari ruang operasi dan mendekati kami. "Sudah waktunya ya, Bu. Kita harus masuk sekarang." Katanya sambil tersenyum.

Aku mencium kedua pipi ibuku, Da Ip mencium tangan ibuku dan Ni Lisa ikut mencium kedua pipi ibuku.

"Nur, kuatkan dirimu. Sakit itu datang dari Allah, kalau Allah berkehendak, Dia bisa mengambilnya kembali dan memberikan kesembuhan. Banyak berzikir di dalam sana." Bapak akhirnya bicara sambil membelai kepala ibuku.

"Maafkan aku, Da. Kalau aku banyak salah selama ini, kurang dalam melayanimu dan banyak membantah kata-katamu. Siapa tahu kita tidak akan berjumpa lagi," kata ibuku sambil terisak-isak.

"InshaAllah, kita akan berjumpa lagi. Kami semua mendoakan dan akan menunggumu di sini." Kata bapak sambil mencium pelan kening ibuku.

Suara roda itu seakan bergema di lorong yang sunyi, aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Kedua perawat tersebut membawa ibuku masuk, diiringi doa-doa panjang dari bibir kami.

"Ya, Allah. Selamatkanlah ibuku, berikanlah kesembuhan kepadanya sehingga dapat berkumpul kembali bersama kami di sini. Jangan ambil dia ya Allah, kami masih sangat membutuhkannya," bisikku diiringi air mata yang akhirnya tumpah.

Ni Lisa memelukku erat dan membelai punggungku, seakan memberikan separuh kekuatannya untukku.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang