Suasana pemakaman terlihat lengang, semilir angin menerpa wajahku, membisikkan kerinduan yang tak terperikan. Gumpalan awan hitam mulai berkumpul, langit pun bersiap menumpahkan air matanya.
"Sebaiknya kita pulang, Uni. Sepertinya hujan akan turun," kata Ahya sambil membantuku berdiri.
Sore ini kami bertiga kembali ke sini, sekedar mengantarkan sebaris doa dan ayat suci. Netraku nanar menatap makam ibu yang masih basah. Di hadapanku, Da Win masih termangu diam tanpa suara. Dia terlihat lebih menderita, seakan-akan ada penyesalan yang tidak terucapkan.
"Da, mari kita pulang," ajak Ahya. Da win tidak bergeming.
Semenjak kejadian di rumah sakit waktu itu, aku memang tidak banyak bicara dengannya. Bahkan untuk rencana pernikahan dengan Andika, Bapak yang langsung menyampaikan kepada Da Win dan Kak Mira. Mungkin dia juga merasakan perubahan sikapku, sehingga dia tidak berani berbicara langsung kepadaku.
"Da, hari sudah gelap dan sebentar lagi hujan akan turun." Aku menyentuh pundaknya perlahan, dia pun berpaling ke arahku.
"Uda belum mau pulang, biar uda di sini sama mamak," ujarnya pelan.
"Sudah sore, Uda. Besok kita ke sini lagi," kata Ahya.
Da Win menggeleng pelan dan tiba-tiba dia menangis sambil memeluk pusara ibu.
"Erwin banyak salah sama Mamak. Selama ini tidak memperhatikan orang tua dan adik-adik. Maafkan Erwin, Mak."
Aku dan Ahya saling bertatapan, ternyata penyesalan itu memang selalu datang terlambat. Kalaulah ada mesin waktu yang bisa membawa manusia ke masa lalu, pasti banyak orang yang ingin kembali dan memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya, termasuk aku.
"Sudahlah, Da. Mak, pasti sudah tenang di sana. Jangan ditambah lagi bebannya dengan air mata kita. Sebaiknya kita mengirimkan doa, bukan penyesalan yang tidak ada gunanya."
Kuusap punggung Da Win perlahan. Sebanyak apa pun kebencian di dada, dia tetap saja saudara sedarahku. Baru kusadari, cintanya kepada ibu tidak pernah berubah.
"Da Win menyesal, Sha. Selama ini tidak pernah ada untuk kalian. Da Win hanya mementingkan anak dan istri. Ketika Mak sakit, Uda juga tidak bisa lama merawatnya. Sebagai anak, uda merasa tidak berguna ... uda berdosa." Tangisnya pun menjadi-jadi, air mata mengalir deras di pipinya.
Guntur mulai bergema di langit yang semakin kelam. Angin dingin menggoyangkan pepohonan, gemerisik dedaunan melantunkan nyanyian pilu.
Aku memeluk Da Win dan membimbingnya untuk berdiri. "Sudahlah, Da. Kita tidak bisa memperbaiki kesalahan di masa lalu. Tetapi kita bisa merencanakan masa depan yang lebih baik. Rysha yakin, Mamak sudah memaafkan Uda. Mari kita pulang, Da!"
"Apakah kau juga sudah memaafkan, Uda?" tanyanya sambil menatapku.
Seketika aku teringat kata-katanya yang menyebabkan luka di hati. Aku memang sangat marah dan pernah membencinya. Tetapi aku sadari, setiap orang pernah membuat kesalahan dalam hidupnya. Memaafkan merupakan jalan terbaik untuk menyembuhkan luka.
"Iya, Rysha sudah memaafkan Uda. Semoga Uda juga sudah memaafkan Rysha," jawabku dengan suara bergetar.
Da Win pun tersenyum dan mengangguk pelan. Dia meletakkan tanganku di genggamannya. Bau harum bunga melati mengiringi langkah kami. Rintik hujan pun turun, seiring lantunan doa-doa untuk mereka yang telah dahulu pergi.
Semoga Mamak sudah tenang di sisi-Nya. Kami semua mencintaimu dan akan selalu mencintaimu, bisikku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU BUKAN PERAWAN TUA
Romantizm(SUDAH TERBIT) Alhamdulillah. Cerita ini sudah menjadi sebuah Novel. Open PO tanggal 08 - 18 September. Harga PO Rp. 85.000. Harga normal setelah PO Rp. 95.000. BLURB Kenapa masalah jodoh ini menjadi begitu rumit? Rysha Dewi, seorang gadis usia 30...