Part 17 : Flash Back

363 16 0
                                    

Seperti biasa, siang ini aku melangkah ke lantai dua menuju studio untuk siaran program tembang kenangan. Aku mendengar suara Andika yang sedang menutup siarannya. Selama satu jam siaran, Andika menerima telepon silih berganti dari para pendengar. Ada yang menelepon untuk meminta lagu atau sekedar menyapa dan menggoda Andika dengan suara manja. Aku sampai hafal nama-nama mereka. Tetapi tentu saja, sebagai penyiar, kami harus melayani pendengar dengan baik dan sopan.

"Bagaimana kabar Ibu, kak? Masih di rumah sakit atau sudah pulang?" Sapa Andika ketika melihatku duduk di sofa dekat pintu studio.

"Masih di rumah sakit. InshaAllah bisa balik ke rumah minggu ini. Malam ini Kakak mau tanyakan sama dokternya," jawabku sambil tersenyum dan merasa senang dengan perhatiannya terhadap kondisi ibuku.

"Oh, syukurlah. Nanti kalau sudah di rumah, kabari aku ya, Kak. Siapa tahu nanti bisa berkunjung melihat Ibu." Katanya sambil tersenyum.

Aku menganggukkan kepala. Tiba-tiba aku teringat sesuatu dan langsung bertanya ke Andika "Makan siang di mana tadi sama Bang Andi?"

"Makan sama Bang Andi? Oh, Gak kok ... aku belum makan." Jawabannya membuatku terkejut.

"Lho ... tadi Putri bilang ... " belum sempat aku melanjutkan kalimat, Dika langsung meletakkan jari telunjuk di bibirnya.

" Ssssttt ... Jangan bilang Putri ya, Kak. Pemberiannya tadi terpaksa aku tolak. Aku tidak enak menerima makanan dari Putri terus menerus, apalagi dia anak kos. Oh ya, kapan-kapan kita makan di luar ya, aku yang traktir ... tetapi khusus untuk Kak Dewi," katanya sambil tersenyum penuh arti.

Aku hanya menatap Dika yang berlalu dari hadapanku dengan penuh tanda tanya. Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku melangkah masuk ke studio dan mulai membuka siaranku untuk siang ini. Pikiranku masih dipenuhi dengan Andika dan Putri. Tiba-tiba ponsel di sakuku bergetar lembut. Sebenarnya kami tidak diijinkan membawa ponsel ke dalam studio. Tetapi karena kondisi ibuku yang sedang di rumah sakit, aku berusaha untuk membawa ponsel kemanapun aku pergi sehingga mudah dihubungi.

Sebuah SMS masuk dari nomor yang sudah aku kenali, walaupun aku tidak tahu itu milik siapa. Dia tidak memberitahukan namanya, tidak ada perkenalan, walaupun SMS darinya selalu kuterima setiap hari dalam satu bulan ini. Kadang pagi hari, malam hari atau ketika siaran seperti sekarang ini. Aku hanya bertanya satu kali tentang namanya, tapi tidak ada balasan. Aku juga tidak merasa penting untuk meneleponnya atau mencari tahu tentang dirinya. Selama SMS-nya masih sopan, aku tidak terlalu peduli.

Aku membuka SMS darinya dan mulai membaca ...

{Hatiku untukmu, hanyalah untukmu
Ku serahkan dan ku dambakan
Dirimu dewiku, permata hatiku
Ku bayangkan di setiap waktu

Putarkan lagu yang ada lirik seperti ini ya, lagu kesukaanku ... khusus untukmu ... Dewiku.}

"Apakah dia ingin mengujiku? Kenapa tidak langsung sebutkan saja judul dan penyanyinya," gumamku kesal sambil membaca ulang SMS-nya.

Lagu kesukaannya? Tunggu dulu ... otakku bekerja cepat membuka memori yang sudah berkarat, kenangan yang terendap dan tidak mau kuingat lagi. Tetapi hari ini, kenangan itu hadir kembali membawaku duduk di tepi pantai padang. Perlahan suara merdu Broery Marantika dan Emilia Contessa yang menyanyikan lagu setangkai anggrek bulan menyapa telingaku, diantara suara deburan ombak dan pemandangan matahari yang mulai tenggelam. Indah sekali.

"Itu adalah lagukesukaanku, kau harus ingat itu," katanya sambil tersenyum dan mengenggamtanganku. Senyum yang dulu pernah mengisi hari-hariku, lebih dari sepuluh tahunyang lalu.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang