Part 40 : Obsesi

218 11 2
                                    

Tiga hari yang lalu ...

Hari Jum'at siang ini, kantor Mentari FM terlihat sepi. Para lelaki pergi ke Mesjid yang letaknya sekitar dua ratus meter dari gedung ini, termasuk Pak Agus. Karena itulah pintu gerbang dikunci dan tidak ada orang yang bisa keluar masuk. Salah satu rekan penyiar perempuan yang masih duduk di bangku kuliah sedang melaksanakan tugasnya di studio. Hanya aku dan Putri yang ada di kantor untuk makan siang bersama, seperti biasanya.

"Kak Dewi, apakah boleh perempuan mengungkapkan cinta terlebih dahulu?" tanya Putri tiba-tiba.

Tanganku yang sedang menyuap nasi terhenti seketika, "Boleh aja sih. Tapi ..."

"Tapi apa?" potong Putri cepat.

"Bukankah lebih baik kita ungkapkan dulu daripada terus menunggu, takutnya nanti diambil orang, Kak!" kata Putri sambil menatapku cemas.

"Maksudnya?" tanyaku dengan wajah sedikit bingung.

Putri memainkan nasi dalam kotak makannya, beberapa detik diam dan berpikir. Aku mengamatinya dengan sabar, walau rasa ingin tahuku tidak tertahankan.

'Apakah Putri mau mengungkapkan cintanya kepada Andika?' batinku.

"Hmm ... tadi Putri lihat Bang Dika bicara sama Rena, kelihatan serius sekali. Jangan-jangan mereka punya hubungan. Atau bisa jadi Rena juga suka dengan Bang Dika. Bagaimana ini, Kak? Haruskah Putri bicara langsung sama Bang Dika? Tapi Putri malu ... "

'Nah, kan? Benar dugaanku. Dia cemburu,' batinku.

Aku menatap Putri yang terlihat gelisah. Rena adalah penyiar paruh waktu yang saat ini sedang bertugas di studio. Dia masih kuliah di salah satu universitas swasta dan aktif di organisasi pengajian kampusnya. Gadis manis yang santun itu memang pendiam, tetapi memiliki suara yang bagus dan ilmu agama yang mencukupi, mungkin karena dasar pendidikannya yang berasal dari pesantren. Karena kemampuannya itulah, kami memberikan kepercayaan untuk mengisi program tentang kajian muslimah setiap hari Jum'at siang.

"Jadi Putri benar-benar suka sama Andika?" tanyaku meminta kepastian.

Perlahan Putri mengangguk. "Putri belum pernah jumpa laki-laki seperti Bang Dika. Dia berbeda, Kak. Kebanyakan laki-laki yang Putri kenal suka cari perhatian, tapi Bang Dika justru tidak. Putri bisikan ya Kak, selama ini banyak yang ngejar Putri, lho!" katanya sambil berbisik.

Aku pun menarik nafas. Terus terang aku percaya dengan kata-katanya. Dia memiliki semua yang didambakan makhluk Tuhan yang bernama laki-laki. Siapa yang mampu menolaknya?

"Memangnya sudah berapa orang mantan pacarmu, Put?" tanyaku penasaran.

"Aduh, Kak. Kalau mantan gak bisa dihitung lagi," sambil tertawa kecil melanjutkan, "sejujurnya ... sekarang pun Putri masih ada pacar di Bandung," katanya sambil mengedipkan sebelah mata.

"Apa?" teriakku. Hampir saja air minum yang dimulutku keluar lagi, aku pun terbatuk-batuk.

'Dasar anak ini, ternyata diam-diam dia play girl juga,' rutukku dalam hati.

"Tenang, Kak. Dia mau Putri putusin, walau dia sudah nyuruh balik ke Bandung. Katanya mau lamar Putri. Tapi beneran, perasaan Putri sama Bang Dika itu berbeda. Dia ... ahh, kali ini Putri benar-benar jatuh cinta," katanya sambil menarik nafas panjang.

Aku menatap makhluk cantik di hadapanku dengan perasaan yang sulit dilukiskan.

"Putri sayang, dirimu itu sangat cantik. Jaga hati dan tubuhmu hanya untuk suamiku kelak, jangan sering gonta ganti pacar seperti ini. Kalau laki-laki yang di Bandung itu sudah mau melamar, berarti dia sudah serius. Kenapa tidak menikah sama dia saja? Bukankah kalian sudah kenal lama?" tanyaku.

Putri pun tertawa kecil. "Putri maunya nikah sama Bang Dika, Kak!"

"Tetapi menurut Kakak, perasaanmu pada Dika itu bukan cinta, tapi obsesi. Karena dia berbeda dari yang lain, karena dia tidak berusaha cari perhatian dan selalu menolakmu, benarkan?" cecarku.

Putri mengangkat kedua bahunya. Dia mengemasi kotak nasinya dan beranjak pergi.

Di depan pintu kantorku dia berpaling, "Jadi perempuan boleh bilang cinta dulu kan, Kak?"

Aku pun mengangkat kedua bahuku. "Terserah padamu saja, Put. Good luck!" kataku sambil mengacungkan satu jempol. Dia pun tersenyum.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang