Part 7 : Perjodohan Yang Gagal

458 22 0
                                    

{Hai, Sha. Jangan lupa ya, abangku cuma punya waktu besok sore. Tempatnya terserah padamu!}

Aku menatap layar ponsel dengan mata nanar. Besok sore, jadwal ibuku untuk operasi. Aku harus ada di rumah sakit untuk menemaninya. Bagaimana mungkin aku meninggalkannya di saat seperti ini. Dia pasti membutuhkan dukungan dari kami semua, suami dan anak-anaknya. Aku tidak akan pernah tahu, apa yang akan terjadi di meja operasi nanti. Luka di kaki ibuku sudah menjalar sampai pergelangan kaki dan aku berharap dokter tidak perlu melakukan amputasi. Bagimanapun, keputusannya baru akan diketahui besok hari.

Dengan berat hati, aku balas SMS Arina.

{Maaf ya, Rin, aku tidak bisa. Ibuku akan operasi besok sore. Ditunda saja perkenalannya.}

Jari-jariku menekan tombol HP dengan cepat dan langsung mengirimkannya. Beberapa detik kemudian, ponselku berbunyi. Panggilan masuk dari Arina.

"Bagaimana keadaan ibumu, Sha? Maaf, aku belum sempat ke rumah sakit, Iqbal demam dan mencret, sudah tiga hari." Suara Arina terdengar sedih di seberang sana.

Iqbal adalah anak Arina satu-satunya yang sekarang berusia dua tahun. Dia baru mendapatkan Iqbal, setelah lima tahun pernikahan dengan penuh perjuangan. Setiap manusia memang memiliki ujian dalam hidupnya masing-masing. Ada yang belum menikah, sudah menikah tapi belum diberikan keturunan, sudah menikah tapi akhirnya bercerai atau sudah menikah tapi harus rela dipoligami. Semua itu aku temui, dalam cerita hidupku dan orang di sekitarku.

"Iya, tidak apa-apa. Bagaimana keadaan Iqbal sekarang? Semoga cepat sembuh ya, Rin," kataku sambil berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Bapak sudah menutup pintu kamarnya yang menandakan dia sudah tidur, sementara Da Ip dan kakak iparku sudah kembali ke rumah mereka.

"Sudah agak mendingan sekarang," balas Arina di seberang sana.

"Jadi kita tidak bisa bertemu besok sore ya? Padahal dia harus berangkat akhir minggu ini ke Jepang. Dia ingin berjumpa langsung denganmu, tapi kita tidak punya waktu lagi." Suara Arina terdengar seperti menyesal.

Aku memang telah menyetujui pertemuan ini seminggu yang lalu, kami hanya tinggal menetapkan tanggalnya. Tetapi malang tidak bisa ditolak, besoknya ibuku masuk rumah sakit.

"Tidak apa-apa. Lain kali saja kita atur waktunya. Kalau jodoh pasti akan berjumpa." Jawabku singkat. Akhirnya Arina menutup pembicaraan kami setelah mendengar suara Iqbal yang menangis.

Arina, salah satu sahabatku semenjak SMA yang paling mengerti diriku. Ketika aku memintanya untuk menjadi mak comblang sebulan yang lalu, dia langsung bergerak cepat. Kebetulan abang sepupunya baru balik dari berlayar, dia juga sedang mencari seorang istri. Seminggu yang lalu, Arina menghubungiku dan menceritakan tentang sepupunya ini.

Saat itu aku berpikir, kenapa tidak aku coba, siapa tahu dia jodohku.

Aku menarik nafas dalam-dalam, kegagalan perjodohan ini terjadi lagi dan lagi, entah sudah berapa kali. Tidak banyak yang tahu tentang usahaku, termasuk keluargaku sendiri. Sebagian besar dari mereka hanya berpikir kalau aku perempuan sombong yang suka memilih, padahal mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Lagipula, aku tidak suka mengumbar masalah pribadiku kepada orang lain, itu bukan tipeku.

Aku membuka galeri foto dalam layar ponsel dan menemukan apa yang aku cari. Foto seorang pria dengan kumis tipis dan mata yang teduh. Dia tersenyum kepadaku.

"Bismillah ..., " gumamku sambil menghapus foto tersebut. Arina mengirimkan foto itu seminggu yang lalu, sebagai langkah awal perkenalan dengan sepupunya. Ternyata laki-laki hitam manis tersebut, bukanlah jodohku.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang