Part 69 : Firasat

124 10 0
                                    


Siang itu, aku sudah bersiap-siap di rumah Arina. Aldo mengatakan bahwa akan menjemputku dalam waktu satu jam. Jantungku berdegup kencang ketika mendengar suaranya, sang kekasih hati telah kembali.

"Ganti baju sekarang, Sha! Ini masih baru, lho. Belum aku pakai sama sekali." Arina menunjukkan sebuah baju dari almari. Gaun selutut warna hijau lembut dengan bordir bunga di lengan.

"Mana mungkin aku pakai gaun selutut itu," kataku.

Arina pun tertawa. "Tentu saja pakai celana panjang. Cantik, kan?" Dia memasangkan gaun tersebut dengan celana panjang hitam. Aku hanya memandangnya dan menggelengkan kepala.

"Kenapa dengan bajuku? Aku merasa nyaman, kok," ujarku.

Arina langsung mencubit pipiku. "Siapa bilang itu tidak nyaman?" kata Arina, "tapi ... kau mau bertemu Aldo. Bagaimana kalau hari ini dia membuat kejutan dan melamarmu? Pakai baju cantik, dong!" lanjutnya.

Arina kemudian menarik tanganku ke kamar mandi dan menyerahkan bajunya ke tanganku.

"Sudah, cepat ganti baju! Kalau perlu, mandi sekalian," katanya sambil menutup pintu kamar mandi.

Aku memandang cermin di dinding kamar mandi, wajahku terlihat kusam dan berkeringat.

Arina benar, aku harus terlihat cantik. Bukankah kami sudah lama tidak bertemu? batinku.

Secepat kilat aku mengganti baju dan membersihkan muka. Aku juga sedikit berdandan dengan memoles make up tipis di wajah. Hatiku merasa puas menatap pantulan diri di cermin. Baju Arina ini terlihat pas di badanku karena ukuran tubuh kami hampir sama. Aku berharap hari ini akan menjadi hari yang bersejarah untuk hubungan kami berdua.

Detik demi detik pun berlalu. Aku duduk di sofa dengan gelisah, Arina menatapku geli. Aku pun mendelik marah ketika dia coba untuk menggodaku. Tidakkah dia tahu kalau aku sedang berdebar-debar?

Seperti apakah Aldo sekarang? Sudah sangat lama rasanya, aku tidak melihat wajah tampannya. Bertahun-tahun lamanya hati menyimpan rindu. Setiap malam diri ini membaca surat-suratnya, berkhayal untuk masa-masa yang akan kami lalui bersama. Keinginanku hanya mencintainya, selamanya.

"Eh, Aldo sudah datang!" seru Arina ketika melihat sebuah mobil Avanza warna putih memasuki pekarangan rumah.

Aku menatap mobil tersebut tanpa berkedip. Aldo menghampiri kami setelah memarkirkan mobilnya. Tubuhnya yang terbalut kemeja putih polos dan celana panjang hitam itu terlihat lebih tegap dan berisi. Wajah yang sangat kurindukan itu pun tersenyum.

Setelah menyapa Arina, dia pun mendekatiku. "Apa kabar, Sha?"

Suaranya yang khas seakan menghipnotisku, selama ini aku hanya mendengarnya melalui telepon, itu pun sangat jarang. Bahkan dalam beberapa bulan ini, dia tidak pernah meneleponku.

"Baik," jawabku singkat.

"Eh, kok kalian jadi canggung gitu? Apa karena aku di sini, ya?" kata Arina sambil tertawa. Aku hanya tersenyum simpul menanggapi godaan Arina.

"Baiklah, kalau begitu kita pergi sekarang," kata Aldo.

"Aldo jangan lupa, bawa Rysha makan yang enak. Dia lagi ngambek karena kau tidak mengabarinya," teriak Arina sebelum kami melangkah pergi. Aku melihat Aldo tersenyum dan mengangguk.

Mobil Aldo pun melaju di jalan utama kota Padang. Mataku memandang keluar jendela, banyak hal yang ingin kusampaikan, namun lidah terasa kelu.

Apakah dia benar akan melamarku? Kejutan apa yang sedang dia siapkan? batinku.

"Kenapa kau diam saja? Apakah kau benar-benar marah padaku?" tanya Aldo.

"Tidak. Kenapa aku harus marah? Memangnya aku siapamu? Kau bisa melakukan apa pun yang kau mau," ketusku.

Hening sejenak, tidak ada jawaban apa pun. Aku memalingkan wajah dari jendela, menatap Aldo yang sedang menyetir. Wajahnya terlihat tegang, seakan menyimpan sesuatu.

Kenapa dia tidak menjawabku? Biasanya dia selalu membujukku ketika aku marah. Apakah Aldo sudah berubah? batinku.

"Kita mau kemana?" tanyaku.

"Maninjau. Aku membutuhkan tempat yang tenang untuk berbicara kepadamu," jawabnya.

"Bicara tentang apa? Kau bisa bicara sekarang, aku akan mendengarkan." Aku menatap Aldo dengan hati yang berdebar.

Rahasia apa yang dia sembunyikan? Apakah benar dia sedang menyiapkan sebuah lamaran? Kenapa aku menjadi gelisah seperti ini? batinku.

"Kita bicara di sana saja. Kau sudah lama tidak ke Maninjau, kan?" kata Aldo sambil tersenyum.

Aku pun menarik napas panjang. "Baiklah," jawabku singkat.

Tidak ada lagi kata-kata di antara kami. Bahkan, setelah bertahun-tahun berpisah, kami berdua seperti orang asing. Bukan pertemuan seperti ini yang kuimpikan. Sungguh, aku sangat benci situasi seperti ini.

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang