Part 25 : Kenangan

245 14 0
                                    


"Lagi?" Arina akhirnya bersuara. "Ini sudah sangat lama, Sha. Kenapa?" katanya sambil menatapku dalam-dalam.

Rasa sakit ini memang sudah lama dan aku juga sudah bersumpah untuk melupakannya. Tetapi semakin aku berusaha, kenangan itu semakin sering datang.

"Tadi ada seseorang yang meminta lagu setangkai anggrek bulan, aku langsung teringat kepada Aldo," kataku pelan sambil menyesap teh hangat ke dalam mulutku.

"Itu lagu kesukaannya," lanjutku hampir tak bersuara. Rasa hangat jahe menjalar di kerongkonganku. Arina tidak berkata apa-apa, dia seperti menungguku selesai bercerita. Perlahan kuhabiskan minuman di cangkirku teguk demi teguk.

"Entah kenapa, setiap kali aku mengingatnya, kepalaku menjadi berdenyut dan sakit," kataku sambil meletakkan cangkir yang kosong ke atas meja.

"Ahh ... aku pikir kau sudah melupakan semuanya. Bukankah kau bilang sudah memaafkannya?" Arina kembali bertanya.

"Aku memang sudah memaafkannya. Aku tidak membencinya lagi, Rin. Tetapi entah mengapa, setiap kali kenangan itu datang, aku merasakan sakit kepala," kataku hampir putus asa dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Arina pindah duduk ke sofa di sampingku dan mulai memelukku. "Kau juga harus bisa memaafkan dirimu sendiri. Bagaimanapun kejadian itu bukan sepenuhnya salahmu. Itu adalah takdir," bisiknya lembut di telingaku.

Akhirnya air mataku tumpah di atas pundaknya, aku pun menangis tersedu-sedu. Beberapa menit lamanya aku menangis di pelukan Arina. Dia hanya memeluk dan membelai punggungku. Setelah tangisku reda, aku pun melepaskan pelukannya. Dia memberikan beberapa lembar tissu untuk menghapus air mataku.

"Kenapa aku tidak bisa melupakannya? Aldo pasti membenciku, karena itu dia selalu datang dalam kenanganku," kataku pelan, hampir tanpa suara.

"Kau tidak akan bisa melupakannya, karena itu adalah bagian dari perjalanan hidupmu, masa lalumu. Yang perlu kau lakukan sekarang hanyalah berdamai dengan masa lalu tersebut. Aku yakin Aldo pasti tidak tenang, jika melihatmu seperti ini," kata Arina dengan bijak. Aku hanya tertunduk dan menghapus air mata yang terus berjatuhan. Dadaku masih terasa sesak.

"Haruskah aku mengunjungi dokter lagi?" tanyaku pelan.

Arina memegang tanganku dan berkata, "Dengar, Sha. Aku tahu kau sedang dalam masa yang sulit dan tertekan sehingga menjadi sangat sensitif. Kau bisa mengunjungi dokter kapanpun kau mau. Tapi kalau ada yang mau kau ceritakan padaku, ceritakanlah. Apa saja. Aku siap mendengarkan. Jangan ada yang disembunyikan. Ceritakan semuanya, sehingga kau akan merasa lega," katanya sambil tersenyum.

"Ahh ... memang banyak kejadian dalam dua minggu ini, bukan hanya tentang kenangan bersama Aldo," kataku lemah. Aku menatap Arina yang tersenyum kepadaku.

"Lantas apa yang kau tunggu, ceritakanlah," ujarnya.

Aku pun mulai bercerita, tentang penyakit ibu, hinaan dari Uda-ku, sindiran tentang jodoh dari Maya, pekerjaan di kantor, SMS yang mulai mengangguku dan semua kenangan maupun kegelisahanku tentang Aldo. Hampir tiga puluh menit aku bercerita, melepaskan semua beban yang terasa sesak di dada. Semua peristiwa yang aku alami dalam dua minggu ini.

Arina hanya duduk diam mendengarkanku hingga aku selesai. Rasa sesak di dada dan sakit di kepalaku mulai berkurang. Kadang kala kita tidak membutuhkan komentar atau saran dari seseorang, kita hanya butuh untuk didengarkan.

Selama ini, Arina dan Shifa selalu bersedia menjadi tong sampah alias mendengarkan semua curahan hati dan masalahku. Sama seperti diriku yang selalu mendengarkan segala masalah mereka, terutama Arina ketika Iqbal belum lahir ke dunia. 

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang