Part 24 : Curhat

262 15 2
                                    


Aku melangkahkan kaki memasuki ruang tamu rumah Arina yang tertata rapi. Sekilas aku lirik jam dinding klasik dengan pendulum warna kuning emas yang tergantung di dinding bercat putih, sudah pukul empat sore. Aku langsung ke rumah Arina setelah menyelesaikan pekerjaanku di radio. Masih ada waktu dua jam sebelum berangkat ke rumah sakit untuk menjenguk mamak.

"Duduk, Sha. Mau minum apa?" kata Arina sambil duduk di sofa kulit warna coklat tua yang terlihat serasi dengan meja dari kayu jati, bantal kursi warna keemasan dan gorden jendela warna coklat muda .

Arina memang menyukai dekorasi klasik untuk rumahnya. Rumah Arina berukuran cukup besar dan bersebelahan dengan rumah orang tuanya. Dia membangun rumah di tanah milik orang tuanya dan rumah ini lebih dari cukup untuk diisi oleh tiga orang anggota keluarga.

"Teh hangat saja. Kepalaku lagi sakit, Rin," jawabku singkat sambil duduk di sofa kulit yang empuk. Perlahan kusandarkan kepala ke belakang. Arina menatapku dengan iba.

"Baiklah, teh jahe hangat ya. Itu bagus untuk sakit kepala. Istirahat saja dulu, Sha. Kalau mau baring, bisa ke kamar tamu." Katanya sebelum melangkah pergi ke dapur.

Aku menarik nafas panjang dan memilih untuk tetap bersandar di sofa. Arina memang punya kamar untuk tamu, entah sudah berapa kali aku menginap di sana. Tentu saja ketika suaminya tidak ada di rumah. Suami Arina bekerja di kota lain sebagai pegawai negeri, dia hanya ada di rumah setiap hari sabtu dan minggu serta libur nasional. Sebelumnya Arina juga bekerja. Dia sudah punya posisi yang bagus di sebuah instansi pemerintahan di kota kami, tetapi dia memilih mengundurkan diri setelah melahirkan Iqbal.

Alasannya sederhana, dia ingin membesarkan anaknya dengan tangannya sendiri. Aku dapat memahami alasannya, karena aku tahu bagaimana perjuangan Arina untuk mendapatkan seorang anak. Dari satu dokter ke dokter yang lain, bermacam-macam obat herbal sampai operasi yang harus dijalaninya. Lima tahun yang penuh perjuangan dan ikhtiar, kesabaran menerima omongan orang lain dan doa yang tiada henti sampai Tuhan mengabulkannya dengan mengirim Iqbal. Dia tidak mau menyia-nyiakan semua pengorbanannya walaupun di lain pihak dia juga harus mengorbankan karirnya. Dalam kehidupan, kadangkala kita harus memilih dan Arina sudah menentukan pilihannya. Dia bahagia menjadi seorang ibu rumah tangga. Selain itu, gaji suaminya, Bang Zainal, sudah lebih dari cukup untuk mereka bertiga.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tidak banyak yang berubah kecuali beberapa pot bunga kaktus yang ditata pada sebuah rak kayu yang menempel di dinding dekat jendela. Perlahan aku berdiri dan memperhatikan sebuah kaktus yang terletak paling atas dan terlihat unik karena memiliki daun mirip dengan helaian rambut putih seperti orang tua.

"Itu disebut kaktus uban. Panjang bulu daunnya nanti bisa mencapai dua belas centimeter. Aku baru saja membelinya." Tiba-tiba Arina datang dari dapur dengan membawa sebuah nampan kaca.

"Sejak kapan kau suka kaktus?" tanyaku heran sambil mengikuti Arina duduk di sofa.

"Baru satu bulan ini. Ada tetangga baru yang jualan bunga kaktus. Dia janda punya anak lima, Sha. Aku kasihan." Arina meletakkan secangkir teh hangat dan beberapa potong kue bolu pandan ke atas meja di hadapanku. Aroma jahe yang hangat dan wangi daun pandan masuk ke hidungku. Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Arina.

"Dimana Iqbal? Lagi tidur ya?" Tanyaku sambil mengambil sepotong kue. Aku yakin, kue ini pasti dibuat oleh Arina. Dia memang rajin memasak dan membuat kue. Dia juga menerima pesanan kue kering setiap mau lebaran.

"Lagi tidur, mungkin kelelahan karena dari pagi tidak berhenti bermain. Aku sampai kewalahan meladeni dia." Kata Arina sambil tertawa. Ternyata Iqbal sudah sembuh dari demamnya dan kembali menjadi anak yang super aktif. Aku pun hanya tersenyum.

"Ada apa? Kau sepertinya sedang tidak sehat? Apakah ibumu baik-baik saja?" Arina balik bertanya dan menatapku penuh selidik. Aku hanya mengangguk.

"Ahh ... aku ingat Aldo lagi, Rin." Kataku perlahan sambil menarik nafas panjang.

Ruangan ini mendadak sunyi. Arina menatapku seakan tidak percaya.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang