Part 81 : Fitnah Keji

144 13 0
                                    


Mak Ros dan Bagas, duduk di hadapan kami sekeluarga. Kue bolu pandan, goreng pisang dan bakwan serta teh hangat telah terhidang di meja. Tidak ada makan malam bersama, karena Mak Ros sudah menghubungi Ni Lisa untuk tidak mempersiapkan makan. Aku menatap wajah Mak Ros yang tidak seperti biasa, seakan ada banyak hal yang dia pikirkan. Aku juga heran, kenapa Andika tidak ikut datang bersama mereka.

"Hampir satu bulan kita tidak bertemu, terakhir ketika mendoa sebelum puasa. Mak dan keluarga semua sehat 'kan?" tanya Ni Lisa memecah kesunyian.

Mak Ros tersenyum, walau terlihat dipaksakan. "Ya, begitulah. Selama puasa ini Mak sibuk, banyak sekali jahitan pelanggan yang harus diselesaikan."

"Alhamdulillah, berarti rejekinya lancar, Mak," ujar Ni Lisa.

"Ya, alhamdulillah. Lumayanlah, bisa untuk lebaran nanti," kata Mak Ros sambil memandangku. Aku hanya tersenyum membalas tatapan Mak Ros. Entah mengapa, perasaanku menjadi tidak enak.

"Kami ke sini karena ada keperluan," kata Mak Ros langsung ke pokok masalah.

Ni Lisa mengangguk dan berkata, "Baiklah, Mak. Kami semua mendengarkan." Ni Lisa memang menjadi juru bicara perempuan dari pihak keluarga, sedangkan Bapak dan Da Ip lebih banyak mendengarkan.

"Ahh ... bagaimana cara untuk memulainya. Rasanya kok jadi tidak enak," ucap Mak Ros.

Aku dan Ni Lisa saling berpandangan. "Katakan saja, Mak. Kita membahas tentang pernikahan Rysha dan Andika, lebih baik semuanya jelas dari sekarang. Tidak ada yang perlu disembunyikan atau merasa tidak enak satu sama lain," jawab Ni Lisa.

"Itu inti permasalahannya, seharusnya tidak ada yang perlu disembunyikan," kata Mak Ros sambil menatapku tajam.

"Maksud Mak, apa? Tolong dijelaskan, karena kami semua tidak mengerti," ucapku. Rasa tidak sabar dan seakan menjadi tertuduh yang menyembunyikan sesuatu membuatku bersuara.

"Begitu ya? Baiklah. Mak baru tahu kalau Rysha pernah mengalami kecelakaan dan pada saat itu, dia bersama seorang laki-laki yang sudah beristri."

Perkataan Mak Ros, membuatku sangat terkejut. Ni Lisa, Da Ip dan Bapak saling berpandangan, wajah mereka langsung berubah.

Mak Ros menatap kami satu persatu. "Sungguh aneh. Bagaimana seorang anak gadis, pergi berduaan pada malam hari dengan laki-laki yang sudah menikah hingga mengalami kecelakaan dan laki-laki itu meninggal?"

Mak Ros menatapku dengan tajam, jelas sekali pandangan tidak suka terlihat dari matanya. "Ketika Andika mengatakan bahwa dia mau menikah dengan wanita yang lebih tua atau lebih pantas menjadi kakaknya, Mak masih bisa menerima. Namun Mak tidak terima kalau wanita tersebut juga berakhlak tidak baik."

"Mak Ros, tolong dijaga perkataannya. Maksud Mak, apa? Anakku Rysha tidak berakhlak?" kata Bapak dengan suara bergetar.

Aku menatap Bapak dengan mata berkaca, hatinya pasti sangat sakit sekarang ini. Bagaimana ini bisa terjadi? Siapa yang memberitahu Mak Ros tentang Aldo? Apakah Andika?

Mak Ros menarik napas panjang. "Maksudku sudah jelas. Kalau gadis ini, bisa pergi dengan laki-laki yang sudah beristri, maka siapa yang tahu apa saja yang pernah dia lakukan?"

"Mak, cukup." Aku pun berdiri. Air mata menetes perlahan dengan bibir gemetar. Aku bisa menerima hinaan dari orang lain, tetapi tidak untuk orang tua dan keluargaku.

"Aku tidak tahu, kalau dia sudah menikah. Peristiwa itu sudah lama terjadi dan Andika sudah mengetahui semuanya. Kalau ini membuat Mak tidak senang, aku mohon maaf," kataku dengan suara gemetar.

Mak Ros pun ikut berdiri. "Aku memang tidak senang. Aku berharap anakku mendapat seorang perempuan baik-baik, bukan bekas orang lain."

"Cukup!" Suara Da Ip menggetarkan ruangan. Tangannya terkepal. Seketika Bagas yang hanya duduk terdiam juga ikut berdiri. Suasana mendadak menjadi sangat tegang.

Bapak segera memegang pundak Da Ip dan berusaha menenangkannya, sedangkan Ni Lisa memegang lenganku.

"Ini malam ramadan, bulan yang suci. Rasanya tidak baik kalau kita bertengkar seperti ini. Sekarang apa yang Mak inginkan dari keluarga kami?" ujar Bapak dengan ketenangan yang luar biasa.

"Aku mau membatalkan rencana pernikahan Andika dan Rysha, anakku pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik dari keluarga baik-baik."

Perkataan Mak Ros membuat kami semua terkejut. Bapak menarik napas panjang, sedangkan Da Ip berusaha menenangkan emosinya. Ni Lisa segera memelukku yang menangis tersedu.

"Baiklah, kalau memang itu yang kalian inginkan. Sayang sekali, Andika tidak ada di sini. Dia yang pertama meminta anak gadisku, tetapi sekarang dia tidak berani menunjukkan hidungnya. Aku akhirnya tahu, kalau dia bukan jodoh yang baik untuk Rysha," kata Bapak.

Tangisku seketika terhenti, Bapak menatapku dengan tersenyum dan mengangguk. Pada saat itu aku menyadari bahwa Bapak dan keluarga, akan selalu ada untuk mendukungku.

Tanpa berkata-kata lagi, Mak Ros meninggalkan rumah kami. Aku menatap kepergiannya yang meninggalkan luka tersayat sembilu di hati. Kemana Andika? Tega sekali dia melakukan ini kepadaku.

***

Rintik hujan membasahi bumi seiiring udara pagi yang dingin menembus pori-pori. Aku menatap bunga mawar dari balik jendela. Perlahan kuhirup udara segar beraroma tanah basah. Gemercik air menyentuh atap bagaikan alunan merdu nyanyian alam. Biarlah hujan ini, ikut membasuh lukaku yang sempat berdarah lagi dan lagi.

Aku menatap layar ponsel yang sejak berbunyi dengan tidak acuh, panggilan dari Andika. Setelah kedatangan Mak Ros tadi malam dan pembatalan pernikahan yang sepihak itu, aku tidak bisa menangis lagi. Air mata telah kering, semua yang telah terjadi tidak bisa diperbaiki lagi. Masa lalu dengan Aldo, juga tidak bisa diubah walau aku sangat menginginkannya.

Siapa pun yang membisikkan semua tuduhan dan fitnah itu ke telinga Mak Ros, aku tidak lagi peduli. Rasanya tidak sanggup, melihat Bapak dan keluarga menerima hinaan karena diriku. Kalau memang aku tidak menikah dan harus menjadi perawan tua selamanya, itu rasa lebih baik dari pada keluarga di hina seperti itu.

{Kenapa kau tidak mengangkat teleponku? Maaf, tadi malam aku harus pergi mendadak ke rumah Paman di Solok, aku sampai lupa memberitahumu.}

SMS dari Andika. Aku menatap layar ponsel dengan mata nanar. Sandiwara apa yang dia mainkan sekarang ini? Jariku mengetik dengan cepat dan SMS balasan pun terkirim.

{Jangan pernah hubungi aku lagi. Bukankah ibumu sudah membatalkan pernikahan kita?}

Balasan SMS dari Andika datang dalam beberapa detik.

{Apa???}

Andika mencoba menelepon lagi. Ingin rasanya aku mengangkat telepon dan memakinya, tetapi aku ingat bahwa hari ini merupakan ramadan terakhir. Ketika panggilan itu berakhir, aku segera memencet satu tombol di ponsel, akhirnya ponsel pun mati.

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang