Part 59 : Rasa Percaya

147 17 0
                                    

Pagi ini, kami semua duduk di aula untuk mendengarkan pengarahan dari Pak Bastian Tito. Sebagai pemilik Radio Mentari FM, dia selalu mengadakan pertemuan dengan kami sebelum bulan ramadan sekaligus sebagai ajang silaturahmi.

Bau harum lontong tunjang, soto padang dan aneka gorengan memenuhi aula pertemuan. Beberapa karyawan katering juga sibuk menyusun piring. Kami akan mendapat sarapan dan makan siang gratis hari ini. Semua orang terlihat bahagia, kecuali Putri.

Aku menatap Putri yang duduk menepi sendiri dan sibuk dengan ponsel di tangannya. Semenjak peristiwa itu, Putri selalu menghindariku. Aku pun mencoba mengabaikannya. Bagaimanapun, dia pasti membutuhkan waktu untuk menenangkan hatinya. Aku melihat Ni Fit mendekati Putri, entah apa yang mereka bicarakan.

Pak Bastian Tito sudah memasuki ruangan aula ditemani oleh Bang Andi. Di usia yang melewati enam puluh tahun, dia masih terlihat sehat dan bugar. Selain loyal dan ramah, dia juga sangat rendah hati. Aku tidak pernah terlihat raut kesombongan dari wajahnya, walaupun dia memilki banyak usaha dan termasuk orang terkaya di Padang.

Pak Bastian memulai pengarahan singkatnya, sekaligus membawa berita bahagia tentang kenaikan gaji dan Tunjangan Hari Raya (THR) untuk tahun ini. Kami semua menyambut berita itu dengan sukacita. Aku melirik Andika yang tersenyum ke arahku.

Rencana pernikahan kami hanya tinggal menunggu hari. Sekitar dua minggu lagi atau tepatnya sebelum ramadan ini, dia akan menjadi suamiku. Tetapi tidak satu orang pun di Radio ini mengetahuinya. Aku dan Andika memang tidak memberitahu mereka, sampai undangan pernikahan akan disebarkan satu minggu sebelum hari-H. Itu sudah menjadi komitmen kami berdua. Aku tidak mau ada fitnah atau apa pun yang akan menghalangi pernikahan kami. Kata-kata Putri siang itu masih terasa lekat diingatanku.

Seketika mata kami bertemu, Putri melirik ke arahku dan Andika, kemudian tersenyum penuh arti.

Apa yang dia rencanakan? Kenapa perasaanku menjadi tidak enak? Bagaimanapun aku tidak bersalah, Andika bukan pacar apalagi suaminya. Aku juga tidak akan menyerah, batinku.

"Ayo, kita sarapan dulu, Kak!" ajak Nabila yang duduk di sampingku.

Pertemuan ini telah selesai dan semua orang mulai beranjak untuk mengambil makanan yang tersedia. Tiba-tiba sebuah SMS masuk ke ponselku.

"Ambil saja dulu makanannya, nanti kakak menyusul," kataku sambil membuka SMS tersebut.

"Nabila ambilkan ya, Kak. Mau lontong tunjang 'kan?" tanya Nabila tersenyum. Aku pun mengangguk.

{Nanti sore kita jemput undangan yang sudah direvisi kemarin, ya. Aku tunggu di sana jam lima sore, sekalian makan sate dangung-dangung di tempat biasa.}

Aku tersenyum membaca SMS dari Andika yang diakhiri dengan emot love itu, laki-laki ini menjadi lebih romantis. Dengan cepat tanganku mengetik SMS balasan.

{Ok, sampai jumpa di sana. Sekali ini, aku yang traktir.}

Aku menarik napas panjang. Sebentar lagi kami akan menikah, tetapi aku belum menceritakan semua rahasia masa laluku kepadanya. Ada sedikit ragu di hati untuk mempercayai orang lain. Dulu, aku juga menceritakan kisahku dengan Aldo kepada Handoko. Aku sangat mempercayainya, tetapi dia mengkhianatiku.

Tetapi aku tidak mau menyimpan ini sendirian. Bagaimanapun, Andika harus mengetahuinya. Dia memang tidak pernah memintaku untuk bercerita, namun aku ingin pernikahan kami dilandasi oleh rasa percaya satu sama lain. Tidak boleh ada rahasia, walau masa lalu terkelam sekalipun. Setidaknya, itulah pendapat pribadiku.

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang