Part 52 : Ratih

156 15 2
                                    

"Waduh, aku ketinggalan berita apa ini. Bang Dika kelihatan bahagia sekali," ujar Ratih yang tiba-tiba muncul diiringi oleh Pak Agus.

Andika tersenyum sambil menatapku yang masih salah tingkah. "Tidak apa-apa, cuma bercanda dengan Kak Dewi. Eh, ada pakunya, Pak Agus? Kita pasang saja berdua, biar para ladies bisa istrirahat," kata Andika.

"Siap, Pak. Tolong pegangi saja kursinya, biar saya yang manjat," kata Pak Agus. Dalam beberapa menit, pekerjaan memasang lukisan itu pun selesai.

"Terima kasih atas bantuannya, Pak Agus," kataku yang disambut anggukan Pak Agus. "Saya kembali ke pos ya, Bu," pamit Pak Agus.

"Baiklah, tugasnya sudah selesai. Apa ada lagi yang bisa aku bantu?" kata Andika setelah kepergian Pak Agus.

"Tinggal membersihkan karpet, mengatur buku dan bunga-bunga. Kami berdua bisa mengerjakannya," kataku.

Seketika Ratih menyenggol lenganku dan berkata, "lho, kalau Bang Dika mau bantu, ya biarkan saja, Kak. Bang Dika bisa bersihkan karpet, kita tinggal menata ruangannya. Bang Dika 'kan suka menolong, baik hati dan rajin menabung, iya kan, Bang?"

Andika tertawa mendengar perkataan Ratih. "Aku mau saja, tetapi ada tugas on air sekitar lima belas menit lagi," jawab Andika, "bagaimana kalau aku bantu setelah on air?" lanjutnya.

"Yah, kelamaan," ujar Ratih dengan kecewa, sedangkan aku menarik napas lega.

"Kalau begitu aku ke atas dulu,ya," kata Andika sambil berdiri dari tempat duduknya.

Baru saja dia mau melangkah keluar, Ni Fit dan Putri sampai di depan kantor kami dengan menenteng dua palstik putih. Aroma makanan merebak di ruangan, membuat perutku keroncongan. Karena kesibukan menata kantor dari pagi, aku dan Ratih memang belum sempat makan siang.

"Wah, ternyata hari ini ramai ya, kebetulan juga ada Andika di sini," kata Ni Fit sambil tersenyum menggoda ke arah Putri yang berdiri di sampingnya.

"Memangnya kenapa, Uni? Butuh bantuan, Dika?" tanya Andika kepada Ni Fit.

"Ahh, enggak. Tadi kami berdua janjian makan di luar. Ini untuk Dewi dan Ratih, belum makan siang kan?" kata Ni Fitri sambil memberikan satu bungkusan plastik putih ke tanganku.

"Terima kasih, Uni. Alhamdulillah masih ingat sama kami berdua," kataku yang disambut senyum manis Ni Fit.

"Nah, yang ini untuk Andika. Nasi bungkus spesial dendeng batokok," kata Ni Fit sambil menyerahkan satu bungkus plastik putih yang lain.

"Wah, baunya enak. Terima kasih, Uni," ujar Andika sambil menerima pemberian Ni Fit.

"Jangan bilang terima kasih sama, Uni. Ucapkan sama Putri, dia yang belikan khusus untuk Andika. Sebegitu perhatiannya Putri, sampai ketika makan pun selalu ingat dirimu," kata Ni Fit tersenyum sambil melirik Putri yang menunduk.

"Ayo Dika, ucapkan terima kasihnya, jangan malu-malu," ujar Ni Fit kembali sambil tersenyum.

Aku melihat Andika yang salah tingkah. Untuk beberapa detik lamanya dia terdiam dan mencoba melirikku.

Sepertinya Putri sudah memberitahu Ni Fit tentang perasaannya kepada Andika, batinku.

"Oh, kalau begitu terima kasih, Ni Fit dan Putri. Aku ke atas dulu ya," katanya singkat sambil melangkah keluar.

Aku memperhatikan Putri yang melirik Andika yang melangkah keluar. Beberapa saat kemudian Putri tersenyum dan memeluk Ni Fit.

"Terima kasih, Uni. Akhirnya dia mau menerima pemberianku. Uni is the best," katanya tertawa senang.

"Ini sebenarnya ada apa sih, aku jadi kepo," kata Ratih sambil merapat ke arah Ni Fit dan Putri dengan wajah penasaran.

Mereka berdua saling melirik dan tertawa.

"Rahasia dong," kata mereka serempak.

Ratih memandangku dengan penuh tanda tanya dan aku pun hanya bisa mengangkat bahu tanda tidak mengerti. Biarlah Ratih mengetahuinya sendiri, bagaimanapun aku tidak berhak membongkar rahasia orang lain.

Ternyata Putri meminta bantuan Ni Fit setelah gagal meminta bantuanku. Sandiwara cinta ini baru saja dimulai, batinku.

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang