Part 64 : Kesedihan Hati

134 13 2
                                    


Sayup-sayup terdengar suara orang memanggil dari kejauhan. Dengan sangat berat, aku berusaha membuka kedua mataku. Wajah lelaki tua yang bijaksana itu terlihat cemas, ada kesedihan yang jelas terpatri di netranya.

Apakah dia habis menangis? batinku.

Bapak mencoba tersenyum walau aku bisa melihat tetes bening mengalir dari sudut matanya. "Kau sudah bangun, Nak? Mari kita bawa ibumu pulang ke rumah. Bapak tahu, kau perempuan yang kuat, Rysha."

Seketika wajah ibu yang kucintai terbayang di mata. Bagaimana mungkin aku bisa kehilangannya? Aku pun menangis tersedu di pelukan Bapak.

Setelah beberapa saat lamanya, Bapak pun berbisik. "Jangan menangis lagi, Nak. Kasihanilah ibumu. Dia sangat membutuhkan doamu saat ini. Ayo berdirilah!" Bapak membimbingku berdiri dibantu oleh Ni Lisa. Kami berjalan menuju mobil ambulan yang sudah siap berangkat membawa jenazah ibuku.

Aku berjalan tertatih sepanjang lorong rumah sakit. Tempat ini sudah sangat akrab bagi kami. Tidak terhitung sudah berapa kali kami bolak balik ke sini. Ternyata Tuhan lebih sayang kepada ibuku. Dia tidak akan merasakan sakit lagi.

Aku memandang wajah kaku yang terlihat tersenyum itu. Separuh jiwaku hilang seiring dengan sirene ambulan yang memekakkan telinga.

***

Pembacaan doa dan surat yasin telah berakhir pada malam ketiga ini. Setelah semua tetangga dan pelayat pergi, keluarga besarku berkumpul di ruang tamu. Mak Ros dan Bagas sudah minta ijin untuk pulang lebih awal. Andika dan keluarganya selalu datang selama tiga hari meninggalnya ibu. Aku menatap Andika yang duduk di samping Pak Tuo Rizal.

"Kita tidak bisa menolak takdir. Semua yang hidup memang sudah ditakdirkan untuk mati. Bukankah kita semua menunggu giliran untuk mati?" Pak Tuo Rizal memandang semua anggota keluarga yang hadir.

Yandi dan Ahya, baru bisa hadir di hari kedua kematian ibu. Sedangkan Da Win sudah hadir di hari pertama, namun baru sampai di rumah setelah ibu dikuburkan. Aku masih ingat bagaimana dia menangis histeris di kuburan ibu dan tidak terhitung berapa kali dia mengatakan maaf ... entah untuk apa.

"Tapi tak ada yang menyangka, Ni Nur akan pergi secepat ini. Apalagi Rysha akan segera menikah," kata Tek Marni diiringi isak tangisnya.

Kami semua pun larut dalam kesedihan yang sama. Tanpa terasa air mataku pun tumpah, masih terngiang kata-kata ibu ketika kami mengabarkan rencana pernikahanku.

"Siapa yang tahu, kapan kita akan pergi dari dunia ini, Marni? Karena itu kita harus bersiap-siap." Pak Tuo menarik napas panjang. Dalam keluarga kami, Pak Tuo sangat disegani sebagai orang paling tua dan bijaksana.

Pak Tuo memandang bapak dan berkata, "mengenai pernikahan Rysha, biarlah mereka yang akan memutuskan. Tapi menurutku, sebaiknya ditunda dulu sampai habis lebaran nanti. Kita masih dalam suasana berduka, rasanya tidak elok kalau mengadakan pesta."

Bapak mengangguk setuju. "Sebenarnya semua persiapan sudah hampir selesai, tetapi undangan pernikahan belum disebarkan. Sepertinya memang lebih baik menunda pernikahan ini. Bagaimanapun, semua terserah sama Andika dan Rysha. Bagaimana menurutmu, Andika?" tanya Bapak.

Aku melihat Andika yang melirik ke arahku. Dia pun menarik napas panjang dan berkata, "mohon maaf Pak Tuo, Bapak dan semua keluarga di sini. Rasanya sekarang bukan saat yang tepat untuk membuat keputusan. Biarlah Rysha tenang terlebih dahulu dan setelah itu kami berdua akan berbicara tentang ini."

Pak Tuo dan Bapak mengangguk setuju, semua orang terlihat menarik napas lega. Memang belum saatnya berbicara tentang pernikahan, disaat kami semua sedang berduka.

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang