Part 72 : Davina Naila

135 7 0
                                    


Kegelapan malam telah menguasai bumi. Aku menatap lampu-lampu jalanan dan rumah penduduk yang kami lewati. Saat ini, tidak ada lagi kata yang bisa diucapkan karena semuanya telah berakhir. Cinta pertamaku telah menjadi milik orang lain. Aku tidak berhak lagi atas dirinya, bahkan di dalam mimpi sekalipun.

Laki-laki yang sekarang duduk di sampingku bukan lagi Aldo yang kukenal, tetapi suami dari seseorang. Sesakit apa pun hati, sesedih apa pun jiwa dan sebesar apa pun luka, Aldo tidak akan pernah menjadi milikku. Mungkin sekarang saat yang tepat untuk melupakan semuanya.

Mobil Aldo terus melaju di jalanan kelok ampek puluh ampek dan tidak sekalipun aku memalingkan wajah dari jendela. Mulai sekarang, menatap wajahnya pun sudah menjadi haram bagiku. Bukankah aku harus menjaga perasaan perempuan itu? Bagaimanapun dia adalah istri sah Aldo, belahan jiwanya yang sudah ditakdirkan bersama.

Air mata terus mengalir dari sudut mata. Aku menangis tanpa suara. Rasa sakit ini tidak akan pergi dengan mudah, tetapi aku bersumpah untuk mengalahkannya. Aku harus melupakan cinta, janji dan semua kenangan kami. Bagaimanapun aku tidak mau menjadi orang ketiga dalam pernikahan mereka.

"Sha ... aku tahu, kau tidak akan bisa memaafkanku. Namun kau harus tahu, kalau aku masih mencintaimu," kata Aldo memecah keheningan di antara kami.

Aku tidak menanggapi perkataan Aldo. Rasanya tidak pantas dia mengatakan cinta kepadaku di saat dia sudah menikah dengan perempuan lain.

"Aku mengenal Naila hanya satu bulan sebelum pernikahan kami. Aku tidak bisa membiarkannya hidup sebatang kara di sana. Pada dasarnya, dia seorang perempuan yang baik. Dia tidak mengatakan apa pun, ketika aku menceritakan tentang hubungan kita," ujar Aldo.

Aku mendengus kesal. Apa yang dia harapkan? Apakah perempuan itu harus tertawa senang ketika suaminya menceritakan bahwa dia mencinta wanita lain? Kenapa Aldo sama sekali tidak punya hati? Seketika aku merasa kasihan dengan perempuan bernama Naila ini.

"Sha, kalau kau sudah agak tenang nanti, beri aku kesempatan untuk bicara dengan Naila. Aku yakin, dia pasti bisa menerimamu," kata Aldo.

Aku memalingkan wajah dan menatap Aldo. "Menerimaku? Apa maksudmu? Aku tidak mau berjumpa dengan istrimu atau pun dirimu lagi. Jalan kita sekarang sudah berbeda."

"Beri aku sedikit waktu, Sha. Aku tidak mau kehilangan dirimu. Aku akan bicara dengan Naila, tentang pernikahan kita," kata Aldo.

"Apa?" Seketika aku terlonjak kaget. Baru saja dia menyakiti dan mengkhianatiku dengan menikahi perempuan lain. Sekarang dia ingin menikahiku dan menyakiti perempuan itu. Apakah dia sudah gila? Tidak cukupkah baginya hanya menyakiti satu perempuan saja.

Aldo tersenyum kepadaku. "Aku akan berjuang untuk cinta kita," katanya pelan.

"Kau ingin aku menjadi istri kedua? Kau sudah gila!" teriakku.

"Aku ingin kita tetap bersama. Bukankah itu juga yang kau inginkan?" jawab Aldo.

"Aku tidak mau bersamamu lagi. Aku tidak mau menjadi orang ketiga dalam pernikahan kalian. Sudah cukup hanya aku yang disakiti. Apakah kau mengerti?"

Aku menatap Aldo dengan pandangan tak percaya. Dadaku bergemuruh, napasku naik turun menahan emosi. Belum setahun dia menikahi perempuan itu, sekarang dia ingin menikah lagi. Apa yang ada dalam pikirannya?

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang