Part 74 : Kembalinya Handoko

120 11 0
                                    


Aku membuka mata ketika sayup-sayup mendengar suara ayam berkokok. Bau menyengat kotoran ayam, langsung menyergap hidungku. Seluruh tulang dan persendian masih terasa begitu lemah tidak berdaya. Sebuah cahaya redup dari lampu neon kecil menerangi ruangan tempatku berada.

Kesadaran belum sepenuhnya pulih ketika perlahan kukedipkan mata dan menatap ruangan dengan dinding batu bata yang terlihat sangat kusam. Aku mencoba menggerakkan tubuh ketika menyadari kedua tangan dan kaki telah terikat kuat.

Aku tidak bisa berbicara atau pun berteriak karena sebuah lakban hitam di mulut yang menutup rapat. Aku mencoba untuk tenang, menarik napas dalam dan mengumpulkan semua kepingan peristiwa yang telah terjadi. Laki-laki tua berambut putih itu, telah membius dan menculikku.

Seketika kepanikan melanda. Bagaimana kalau dia telah melakukan sesuatu yang buruk, bukankah aku tidak sadarkan diri selama berjam-jam. Dengan sisa kekuatan yang ada dan menajamkan semua pancaindra, aku mencoba mengamati tubuh yang terikat ini. Pakaian masih lengkap dan tidak ada perubahan apa pun, akhirnya hati menjadi sedikit lega.

Suara ayam berkokok, sekali lagi menyadarkan raga yang tidak berdaya. Mungkin saja saat ini sudah subuh , tetapi aku belum bisa melihat sinar mentari. Ruangan yang sangat sempit ini hanya memiliki sebuah jendela kecil sekaligus berfungsi sebagai ventilasi udara. Otakku terus bekerja, mencoba mencerna semua informasi yang ada. Siapa laki-laki tersebut, apa yang dia inginkan, apa hubungannya dengan Aldo dan mengapa dia menculikku.

Apakah laki-laki tersebut orang yang mengirimkan surat kaleng? Selama ini, aku berpikir bahwa mungkin saja Naila, istri Aldo yang mengirimkan surat itu. Walaupun aku belum pernah bertemu dengannya secara langsung, dia berhak mendapat penjelasan tentang kecelakaan itu. Arina mengatakan bahwa Naila kembali ke Australia, sebulan setelah kematian Aldo.

Di saat aku sedang berpikir keras, tiba-tiba pintu kayu itu pun terbuka. Bau menyengat kotoran ayam semakin menusuk hidung. Seorang laki-laki tinggi kurus berkulit gelap, memakai celana panjang dan kaus oblong biru tua dengan topi jerami lebar menutupi kepalanya, telah berdiri di depan pintu. Janggut dan kumisnya berwarna putih, menutupi hampir separuh wajahnya.

Aku menatap mata laki-laki itu, seketika jantung berdetak kencang. Benarkah aku mengenalinya?

Dia pun tersenyum lebar sambil membuka topi jerami dikepalanya dan berkata, "ternyata kau sudah bangun. Tidurmu nyenyak sekali."

Mataku melotot lebar, benarkah itu dia?

Laki-laki itu tertawa, mendekati dan membelai kepalaku. Aku menggeleng dengan keras, berusaha bicara namun tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Seketika rasa marah bercampur dengan takut menjalar ke seluruh tubuhku.

"Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu," katanya sambil membelai pipiku. Aku berusaha menjauh dengan menggeser punggung yang menempel di selimut usang.

Dia semakin mendekatiku dan tersenyum puas melihat ketakutanku. "Aku lupa kalau kau tidak bisa bicara, padahal aku sangat rindu dengan suaramu," bisiknya ke telingaku. Dia kembali tertawa sambil mengusap janggut dan kumis putihnya.

Laki-laki itu mengambil sebuah meja kayu kecil dan duduk di atasnya sambil memandangiku yang tidak berdaya.

"Bertahun-tahun kita tidak bertemu. Siapa sangka, keisenganku untuk mendengar siaran radio pada hari itu, justru mempertemukan kita. Mana mungkin aku lupa dengan suara merdumu. Aku tidak pernah bisa melupakanmu, Rysha Dewi," katanya sambil tersenyum.

Kemudian dia melangkah mendekati dan membuka lakban yang menutup mulutku.

"Kau ... kenapa kau lakukan semua ini? Apa yang kau inginkan dariku?" teriakku. Seketika, rasa takut itu pun hilang berganti dengan kemarahan dan kebencian.

Laki-laki itu hanya tertawa. "Kau masih sama seperti yang dulu ya," katanya.

"Lepaskan aku, Pras. Kau tahu kalau perbuatanmu ini kriminal. Aku bisa melaporkanmu ke polisi," teriakku yang disambut gelengan kepala Handoko Prastyo, laki-laki yang pernah menjadi kekasihku.

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang