Part 27 : Ahya

244 14 3
                                    

Aku sampai di rumah sakit ketika sudah lewat pukul enam sore, tepat sebelum azan maghrib berkumandang. Aku melangkahkan kaki menyusuri lorong rumah sakit menuju kamar ibuku. Ternyata sudah ada Da Ip, Yandi dan Ahya di sana. Aku langsung memeluk adik iparku yang sudah lama tidak berjumpa.

"Ni Rysha, apa kabar?" kata Ahya sambil mencium tanganku dan memelukku erat.

Aku menatap perempuan berjilbab biru dengan gamis warna senada yang kelihatan sangat cantik. Ahya memang memiliki wajah cantik khas wanita Aceh, kecantikan yang alami bahkan tanpa bedak dan make up. Kedua orang tua Ahya memang orang Aceh asli yang tinggal di Lhokseumawe. Aku sendiri, baru sekali pergi ke Aceh yaitu ketika pernikahan Yandi dan Ahya, empat tahun yang lalu.

"Alhamdulillah, baik. Kalian semua apa kabar? Anak-anak dimana, kok gak ikut?" kataku sambil mengedarkan pandangan untuk mencari kedua keponakan kembarku yang sekarang sudah berusia tiga tahun, Raka dan Riki.

"Mereka tidak mau ikut, keenakan bermain dengan Ratna dan Galih. Tetapi gak apa-apa, ada Ni Lisa dan Bapak yang jaga mereka di rumah," kata Ahya sambil tersenyum. Ratna dan Galih adalah anak-anak Da Ip dan Ni Lisa.

Aku pun tersenyum mengangguk dan mendekati Yandi yang langsung datang mencium tanganku.

"Baa kaba Uni, lai sehat se?" kata Yandi dengan bahasa minang. Dia memang suka memakai bahasa minang ketika pulang ke rumah, katanya supaya tidak lupa dengan bahasa minang. Aku pun sering menggodanya karena hal ini.

"Alhamdulillah, sehat," kataku sambil mendekati ibuku yang tersenyum melihat kami.

"Mamak pasti senang ya, ada Yandi dan Ahya di sini. Anak-anak Mamak bisa pulang semua," kataku sambil membelai kepala ibuku.

"Iya, senang. Tadi dokter bedah juga bilang kalau Mamak sudah bisa pulang ke rumah besok pagi," kata ibuku dengan wajah bahagia.

"Oh ya, benarkah? Baguslah. Tetapi bagaimana dengan luka di kaki Mamak, itu butuh perawatan khusus," ujarku sambil memperhatikan kaki ibuku yang masih di balut perban warna putih.

"Jangan khawatir Ni, Ahya di rumah selama seminggu. Nanti Ahya yang bersihkan. Uni tinggal lihat caranya, inshaAllah nanti Uni bisa rawat luka Mamak di rumah kalau Ahya sudah pulang," kata iparku sambil tersenyum. Aku lupa kalau dia adalah seorang perawat, dia pasti mengerti cara membersihkan luka di kaki ibuku.

"Syukurlah kalau begitu," kataku senang. Kami pun melewati sore itu dengan bercerita sambil menghibur ibuku yang sekarang sudah bisa tertawa.

Setelah maghrib dokter Ridwan datang mengunjungi kamar ibuku bersama dua orang perawat. Dokter Ridwan adalah dokter spesialis penyakit dalam. Setelah memastikan kondisi ibuku stabil, dia memberikan rekomendasi bahwa ibuku boleh pulang besok pagi. Tetapi ibuku tetap harus menjalani cuci darah dua kali seminggu. Kedatangan dokter Ridwan yang selalu tersenyum dan ramah memberikan kesan tersendiri bagi ibuku.

"Dokter itu kelihatan semakin putih dan ganteng ya," kata ibuku setelah dokter Ridwan berlalu dari ruangan tersebut. Kami pun saling pandang.

"Kalau dokternya ganteng seperti itu, Mamak mau di sini terus ya? Beneran gak mau pulang?" godaku.

"Ingat Mak, ada Bapak di rumah," kata Da Ip yang berhasil membuat ibuku tertawa.

"Maksud Mamak untuk jadi menantu, kan bagus punya menantu dokter baik seperti itu," kata ibuku sambil menatapku.

Aku pun hanya melongo. Sedetik kemudian terdengar gelak tawa saudara dan iparku.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang