Part 60 : Ungkapan Hati

138 14 0
                                    


Aku memandang kartu undangan warna biru muda di tanganku. Setelah membaca dengan teliti, aku pun mengangguk setuju.

"Sudah tidak ada kesalahan lagi?" tanya Andika.

"Ya, mereka sudah perbaiki semuanya," jawabku sambil memberikan kartu tersebut ke Andika.

Percetakan ini adalah milik temannya Andika dan kami sudah memesan tiga ratus kartu undangan pernikahan. Hari ini, undangan tersebut selesai dicetak setelah revisi yang kulakukan karena kesalahan penulisan namaku. Setelah membayar semua biaya percetakan, kami pun melangkah pergi menuju kedai sate yang jaraknya hanya beberapa ruko dari percetakan. Kami sengaja berjalan kaki, menikmati udara sore kota Padang setelah siang tadi diguyur hujan lebat.

Kedai Sate Mak Ongah, begitu bunyi spanduk di depan ruko tingkat dua yang kami masuki. Sate dangung-dangung ini berasal dari nagari Dangung-dangung di Kabupaten 50 Kota. Sate ini enak sekali karena disajikan dengan parutan kelapa yang membaluri dagingnya. Kedai Sate Mak Ongah baru berdiri beberapa bulan, tapi sudah langsung diserbu oleh pembeli termasuk aku dan Andika.

Kami memilih duduk di tenda luar walau masih banyak bangku kosong di dalam ruko. Aku merasa lebih leluasa bercerita sambil menikmati pemandangan jalanan kota.

"Kenapa hari ini kau lebih banyak diam? Ada masalah apa?" Andika menatapku dengan mata elangnya. Aku pun memaling muka, mencoba mengumpulkan keberanian yang ada.

"Aku ingin bercerita," kataku sambil menepikan piring kosong bekas sate yang ada di hadapanku.

Dia pun tersenyum. "Sejak kapan aku melarangmu bercerita? Aku justru senang kalau kau banyak bicara karena kalau kau diam, berarti kau sedang marah atau ada masalah. Benar, kan?"

"Ini tentang masa laluku, aku ingin kau mengetahuinya. Setelah aku selesai bercerita, kau boleh berkata apa saja," kataku pelan.

Andika menarik napas panjang. "Hm, bukankah sudah kubilang kalau aku akan menerimamu apa adanya. Aku juga tidak peduli dengan masa lalumu, kita harus menatap masa depan kita berdua," tegasnya.

"Ya, tetapi ... aku merasa tidak nyaman karena menyimpan sesuatu darimu. Bukankah kita akan menikah? Aku tidak ingin menyimpan apa pun darimu." Aku menatap Andika sambil tersenyum.

Akhirnya, dia pun mengalah. "Baiklah, kalau itu bisa membuatmu nyaman. Ceritalah, aku akan mendengarkan."

Aku menatap jalanan yang basah, menghirup udara segar sebanyak mungkin sambil mengumpulkan keberanianku. Hujan tadi siang memang telah reda, tetapi mendung masih menggantung di langit, siap untuk menumpahkan isinya kembali.

Perlahan kenangan itu kembali hadir, membawa setiap rasa yang telah lama kusimpan. Aku pun mulai bercerita, tentang kisahku dengan Aldo dan kecelakaan tragis itu. Peristiwa yang merenggut nyawa Aldo karena kesalahanku. Sampai detik ini, aku belum bisa memaafkan diriku sendiri. Peristiwa itu telah membawa trauma yang panjang sehingga membuatku harus menemui seorang psikiater. Kemudian tentang Handoko dan pengkhiatannya. Semua mengalir dari bibirku, seiring dengan gerimis yang kembali turun membasahi bumi.

Tidak sepatah kata pun keluar dari mulut Andika. Dia hanya diam dan menatapku, bahkan setelah beberapa menit ceritaku berakhir. Hanya ada hening yang tercipta.

Akhirnya dia tersenyum dan menarik napas panjang. "Apakah kau sudah menceritakan semuanya? Apakah sekarang kau sudah merasa lega?"

Aku hanya bisa mengangguk pelan.

"Baiklah, aku sudah mendengarkan semuanya. Kita tidak bisa mengubah masa lalu, walaupun kita menginginkannya. Tidak ada yang perlu disesali, karena semua sudah terjadi. Jadikan saja semua sebagai pembelajaran sehingga kita menjadi lebih baik di masa sekarang dan masa depan," kata Andika.

Seketika dia meraih tanganku dan berkata, "tatap aku, Dewi. Apakah kau mau melupakan semuanya dan merajut masa depan denganku?"

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang