Part 66 : Surat Kaleng

132 10 0
                                    

Tumpukan berkas dan surat-surat berserakan di atas meja kerja. Cuti berkabung selama seminggu sudah selesai, saatnya untuk melanjutkan hidup dan pekerjaan yang ada. Di rumah hanya tinggal aku, bapak dan keluarga Da Ip, sedangkan keluarga yang lain sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Seharusnya hari ini, aku sudah mengambil cuti untuk mengurus pernikahanku, tetapi takdir berkata lain.

Aku menarik napas panjang dan mulai membereskan tumpukan berkas di meja, menggabungkan setiap kuitansi, surat tagihan dan surat masuk yang lain. Seketika netra menatap sebuah amplop putih tanpa nama pengirim. Tanganku bergerak membuka amplop, ketika suara Andika mengejutkanku.

"Lagi sibuk, ya?" Dia tersenyum menatapku.

Semenjak kematian Ibu, kami memang belum sempat berbicara banyak, hanya SMS dari Andika yang selalu menyapaku. Sepertinya dia ingin memberiku waktu untuk menenangkan diri dan melupakan kesedihan hati. Kami berdua memang telah sepakat untuk menunda pernikahan sampai habis lebaran nanti atau setelah empat puluh hari kematian ibu.

"Tidak, hanya berberes saja. Sudah seminggu meja ini kutinggalkan," jawabku.

Dia berjalan mendekatiku dan berkata, "baiklah. Bagaimana kalau nanti sore kita makan di luar? Aku yang traktir, makan di mana pun kamu mau."

Aku menatap Andika yang berdiri terlalu dekat, bagaimanapun aku tidak mau orang curiga dengan hubungan kami. Aku pun bergerak sedikit menjauh.

"Iya, nanti aku kabari. Sekarang pergilah, jangan sampai ada orang yang melihat kita. Ingat, undangannya belum disebar," kataku sambil berbisik.

Andika tertawa renyah melihat mimik mukaku yang seperti orang ketakutan. Dia pun melangkah pergi.

***

Aku bersiap untuk makan siang ketika terdengar langkah kaki Ni Fit memasuki ruang kantor.

"Ni Fit tidak tahu kalau Rysha sudah masuk, apa kabar?" ujarnya sambil memelukku erat. Ni Fit hadir ke pemakaman ibu bersama teman-teman radio yang lain, kecuali Putri.

Seketika mataku menatap Putri yang berdiri di belakang Ni Fit. Dia pun segera mendekat dan memelukku.

"Maaf ya, Kak. Hari itu Putri tidak enak badan, jadi tidak bisa datang ke rumah kakak," katanya sambil tersenyum.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Sebenarnya dia bisa datang kapan saja, bukankah aku ada di rumah selama seminggu ini?

"Baiklah. Apakah kalian sudah makan siang? Mari gabung, aku makan sendirian," kataku.

"Kami sudah makan tadi. Putri ke atas dulu ya, ada yang mau dikerjakan," kata Putri sambil melangkah keluar.

Ni Fit memandangku dan bertanya, "apakah kalian masih marahan dan tidak bicara satu sama lain?"

Aku pun tersenyum. "Kami sudah bicara, Uni. Tapi ... mungkin butuh waktu bagi kami berdua untuk menerima kenyataan yang ada."

"Kenyataan apa?" tanya Ni Fit, "apakah dirimu dan Andika benar-benar punya hubungan serius?" lanjut Ni Fit.

Aku hanya mengangguk, seketika wajah Ni Fit berubah. Dia menatapku dengan frustasi. "Ahh ... ini tidak akan mudah, Sha. Kenapa kalian harus mencintai orang yang sama?"

"Itu yang baru saja Rysha katakan, Uni. Kami berdua hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan bahwa kami mencintai orang yang sama," kataku dengan pelan.

Ni Fit menggelengkan kepalanya. "Uni tidak mau terlibat dengan urusan percintaan kalian ini. Bisa-bisa Uni kena strok," katanya sambil melangkah pergi.

Aku menatap kepergian Ni Fit. Perlahan kubuka bekal makan siang dari Ni Lisa, tetapi selera makan sudah terbang entah kemana. Tiba-tiba aku teringat surat dengan amplop putih yang belum sempat dibuka tadi pagi.

Tanganku menarik sepucuk surat yang terlipat rapi dan membukanya dengan hati-hati. Sebuah potongan berita surat kabar jatuh ke meja dengan judul besar yang langsung tertangkap oleh netra.

KECELAKAAN TUNGGAL DI KELOK 44, SATU NYAWA MELAYANG

Dengan tangan bergetar, aku membaca potongan surat kabar yang dilengkapi dengan foto sebuah mobil di dasar jurang, mobil Aldo. Aku menutup mulut dengan kedua tanganku, netra nanar menatap potongan surat kabar di meja. Aku tidak sanggup lagi membacanya.

Butuh beberapa menit bagiku untuk menenangkan diri. Potongan kenangan itu satu persatu membingkai sebuah kisah yang menyedihkan. Aku pun menangis tersedu.

Siapa yang mengirimkan ini? Apa yang dia inginkan dariku? batinku.

Aku meraih surat berwarna putih itu. Ada sebuah tulisan tangan dengan huruf kapital bertinta merah di sana.

HARI MINGGU, TANGGAL 13 MEI 2012. KECELAKAAN DI KELOK 44 TELAH MERENGGUT NYAWA ALDO SAPUTRA. DASAR PEMBUNUH! KAU SEHARUSNYA JUGA MATI PADA SAAT ITU.

Tubuhku bergetar hebat. Tiba-tiba ketakutan menjalari hatiku. Apakah dia ingin membalas dendam? Siapakah dia? Apakah istri Aldo? Apakah saudara atau keluarganya?

Berbagai pertanyaan mengisi kepalaku. Aku tidak bisa berpikir dengan tenang. Rasa takut, bersalah dan sedih bercampur menjadi satu.

Apa yang harus aku lakukan? batinku.

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang