Part 38 : Mentari FM

230 14 2
                                    

Senin pagi yang indah, aku menatap bunga mawar warna merah hati yang mekar mempesona dari balik jendela kamarku. Ibuku meletakkan beberapa pot bunga mawar aneka warna pada sebuah rak kayu yang berada di depan jendela kamarku. Setiap kali membuka jendela di pagi hari, aku bisa mencium aroma bunga mawar yang semerbak. Sinar mentari pagi malu-malu mengintip melalui jendela diiringi suara kicau burung gereja yang lari kian kemari.

Sudah pukul delapan pagi dan aku sudah siap pergi untuk mengantarkan lamaran pekerjaan ke Radio Mentari FM. Wawancara akan dilakukan pada hari ini juga, jadi kepastian diterima atau tidak akan diketahui sore nanti. Sebenarnya aku sudah mencari beberapa informasi tentang stasiun radio ini, aku bahkan sudah mendengarkan siaran mereka. Radio ini baru berdiri tiga bulan yang lalu, masih dalam tahap uji coba berbagai macam program, hal ini terlihat dari siaran mereka yang belum sepenuhnya terjadwal. Sebenarnya radio ini memiliki potensi yang bagus jika bisa merebut hati pendengar dengan program-program yang unik atau belum dimiliki oleh radio lain.

Dengan memakai baju kemeja warna hijau muda yang dibalut dengan blazer warna hitam dan rok panjang warna hitam, aku merasa sangat percaya diri. Ditambah lagi dengan jilbab hijau muda yang membalut wajah manisku.

"Jam berapa kau berangkat, Sha?" tanya ibuku yang sudah berdiri di pintu kamarku.

"Sebentar lagi, Mak. Janji wawancaranya jam sembilan pagi. Mamak tidak ke pasar?" tanyaku.

Aku mengamati ibuku yang berjalan menuju kasurku sambil membawa secarik kertas di tangan kanannya. Dengan berat badan hampir sembilan puluh kilogram, dia terlihat sedikit sulit untuk berjalan. Aku sudah meminta ibuku untuk menjalani diet sehat karena bagaimanapun gemuk di usia tua itu mengundang banyak penyakit.

"Mulai hari ini Mamak putuskan untuk tidak bekerja lagi, biarlah Bapak kau saja yang jualan di pasar. Mamak mau istirahat," katanya sambil duduk di atas kasurku.

"Oh ya, baguslah. Mamak memang harus istirahat, sudah tua. Nikmati aja hidup dengan banyak beribadah," kataku sambil duduk di samping ibuku.

"Iya, kalian semua juga sudah dewasa. Siapa tahu setelah pernikahan Yandi ini, Mamak juga bisa menimang cucu dari kau, Nak!" kata ibuku sambil menatapku.

Aku pun menarik nafas dalam, sedikit ada rasa sesak di dada, " Mak, jangan bicarakan ini lagi. Rysha mohon ... tidak sekarang."

"Benar juga. Kau ada wawancara ya? Jangan dipikirkan kata-kata Mamak tadi. Semoga kau dapatkan pekerjaan baru itu, berapapun gajinya terima saja dulu ya," sambil berdiri, ibuku menyerahkan secarik kertas, " tolong belikan barang-barang ini sebelum pulang ke rumah nanti, Mamak lupa memberi tahu Bapak kau tadi."

Aku pun mengangguk dan mencium tangan ibuku, "Doakan, Rysha ya Mak."

***

Gedung berlantai dua itu terlihat begitu megah. Masih tercium bau cat dan semen basah. Beberapa pekerja masih terlihat sibuk memasang keramik kamar mandi di lantai satu, sedangkan dua orang pekerja sibuk dengan kuas catnya. Pekerjaan untuk lantai satu ini terlihat belum selesai sepenuhnya. Pak satpam yang bertugas di pintu gerbang langsung mempersilahkanku untuk naik ke lantai dua.

Perlahan aku langkahkan kaki ke lantai dua, sayup-sayup terdengar siaran Mentari FM yang sedang dibawakan oleh seorang penyiar dalam bahasa minang. Aku mengamati lantai dua yang pembangunannya terlihat sudah hampir selesai. Sebuah aula yang cukup besar, studio radio Mentari FM dan ruangan kantor Mentari FM. Aku duduk di sebuah sofa yang ada di samping studio, tidak ada satu orang pun yang terlihat di sana. Tiba-tiba, pintu ruang kantor terbuka dan seorang laki-laki separuh baya yang tinggi kurus menghampiriku.

"Bu Rysha Dewi?" sapanya.

"Iya, Pak," jawabku sambil berdiri.

"Saya Andi, manajer Mentari FM," katanya ramah sambil mengulurkan tangannya yang kusambut sambil tersenyum.

"Mohon tunggu di sini sebentar, mungkin sekitar lima belas menit. Masih ada satu orang di dalam lagi di wawancara," kata pak Andi.

Aku pun mengangguk. Sambil mendengarkan siaran radio dari speaker yang ada di ruangan itu, aku mengeluarkan berkas lamaranku. Membaca ulang semua point yang aku tulis dan mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan yang mungkin akan kuterima. Lima menit kemudian terdengar suara langkah kaki seseorang menaiki tangga.

"Assalamualaikum. Adek kerja di sini ya? Saya mau wawancara , tempatnya di mana?" sapa seorang pemudah berumur awal 20-an yang menatapku dengan senyum yang mempesona.

"Waalaikumsalam. Saya juga mau ikut wawancara," sambil menunjukkan map yang berisi lamaran pekerjaan, aku mempersilahkannya duduk "silahkan duduk, kita tunggu giliran wawancara."

Dia pun tertawa renyah. Pemuda tampan berkulit putih dengan mata elang, senyum menawan dan tawa yang enak didengar, begitulah penilaian pertamaku.

"Saya pikir karyawan di sini. Oh ya, nama adek siapa?" tanyanya.

Aku pun tersenyum. Sudah dua kali dia memanggilku adek, padahal aku yakin kalau dia lebih muda dariku, mungkin sama dengan usia adikku.

"Panggil saja dengan Dewi," jawabku singkat.

"Wahh, nama yang indah. Kau bisa panggil aku Dika, Andika Pratama," katanya dengan senyum yang menawan. Senyum yang bisa membuat es di kutup mencair seketika dan aku pun terpesona pada pandangan pertama.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang