Part 71 : Danau Maninjau

122 9 0
                                    


Sinar matahari berwarna merah jingga menyinari permukaan danau, sebentar lagi keindahannya akan hilang ditelan gelap malam. Aku berpegang pada sebuah pohon di tepi danau, seluruh badan bergetar menahan emosi yang bergemuruh di dada. Seperti inikah rasanya dikhianati orang yang kita cintai? Apa artinya pengorbanan dan kesetiaanku selama ini?

"Sha ... aku menikah karena terpaksa," ujar Aldo pelan.

Aku menatapnya tidak percaya. Mana mungkin ada seorang laki-laki yang bisa dipaksa menikah. Itu hanya alibinya saja. Kemunafikan yang dibalut dengan kata keterpaksaan.

"Kau ... menikah karena terpaksa? Siapa yang bisa memaksamu? Kau ini laki-laki atau banci!" teriakku frustasi.

Dia menghela napas panjang. "Aku berhutang nyawa dengan seseorang. Dia menitipkan anak perempuannya padaku, sebelum dia meninggal. Itu adalah permintaan terakhirnya dan aku sudah berjanji untuk menjaga putrinya," kata Aldo pelan.

"Menitipkan? Memangnya anak perempuannya itu sebuah barang? Ah, sudahlah Aldo ... jangan membohongiku lagi. Semakin kau membela diri, aku menjadi semakin muak!" ketusku.

Rasanya aku ingin sekali memberikan sebuah tendangan maut untuk laki-laki ini. Dia berusaha memenuhi janjinya kepada orang lain dengan mengabaikan janji yang terlebih dahulu dia berikan padaku. Apakah itu adil?

"Kau tahu ... aku selalu setia padamu. Tidak pernah sekalipun aku melirik laki-laki lain. Dalam hatiku bahkan mimpiku ... hanya ada kau. Tidakkah kau ingat semua rencana masa depan kita? Kau ingat semua janji yang pernah kau ucapkan padaku? Apakah kau ingat itu sebelum menikahinya ... jawab aku!"

Aku berteriak seperti orang gila. Mungkin karena itu Aldo memilih tempat ini, karena tidak ada orang yang bisa mendengar semua pembicaraan kami.

"Dia meninggal karena menolongku, Sha," kata Aldo dengan suara bergetar.

Dia berjalan ke tepi danau, matanya menatap matahari yang mulai tenggelam. Aku tidak mau mendengar omong kosongnya lagi, tetapi semua kata-kata telah habis terucap. Air mata terus menetes di pipi, seakan ingin menghapus semua sakit yang kurasakan.

"Malam itu, aku baru selesai bekerja dan berjalan pulang. Di sebuah gang, beberapa laki-laki mencoba merampokku. Pak Adam yang kebetulan lewat, langsung menolongku. Namun justru dia yang terkena tembakan," kata Aldo

Aldo berpaling, matanya nanar menatapku. "Aku membawanya ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong. Dia memintaku untuk menjaga putrinya yang sekarang menjadi yatim piatu. Karena itu, aku menikahinya."

Seketika air mataku terhenti. Beberapa detik lamanya otak berusaha mencerna kata-katanya dan akhirnya akupun tertawa. Ini sungguh lucu. Takdir seperti apa yang telah mempermainkan kami berdua.

Beberapa menit lamanya, aku tertawa lepas seperti orang gila dan akhirnya terdiam. Tidak kupedulikan Aldo yang menatap dengan raut wajah bingung. Perlahan kumelangkah pergi.

"Sha, kau mau kemana?" kata Aldo sambil memegang tanganku.

"Lepaskan! Aku mau pulang. Hatiku benar-benar sudah lelah. Apa pun yang kau katakan sekarang, tidak ada gunanya lagi. Semuanya sudah berakhir, bukan?" kataku sambil terus melangkah.

Warna gelap mulai membayangi bumi, seiring mentari yang bersembunyi di balik peraduannya. Gelap itu pun merasuki hatiku, kesucian cintaku dibalas dengan sebuah pengkhianatan atas nama menunaikan janji. Apakah menjaga dan menikahi itu sama? Haruskah dia menikahi gadis itu dengan alasan untuk menjaganya?

"Maafkan aku, Sha," kata Aldo.

Aku mengabaikan Aldo yang berjalan di belakangku. Tiba-tiba aku merasa begitu lemah, kaki terasa berat melangkah. Dengan cepat Aldo memegang punggungku.

"Mari kita pulang," bisiknya sambil membimbingku.

Aku mengikutinya tanpa mampu berkata apa-apa. Senja itu, Danau Maninjau menjadi saksi berakhirnya hubungan kami.

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang