Part 68 : Kepulangan Aldo

127 8 0
                                    


Sekelompok anak-anak mandi sambil bermain riang dengan riak gelombang kecil Danau Maninjau. Keceriaan dan kebahagiaan mereka, mampu mengukir senyum di wajahku. Tempat ini sudah banyak berubah, ada beberapa tempat yang dijadikan lokasi untuk berfoto dengan latar belakang keindahan danau serta hamparan bukit yang ada di seberangnya.

Beberapa pasangan anak muda, duduk di tepi danau sambil menyaksikan ombak danau beriak santai sore hari. Keindahan matahari tenggelam yang semakin redup menyinari luasnya danau maninjau. Semilir angin sore menyapu wajahku, berusaha mengusir duka yang tersimpan sejak lama.

Aku melirik jam tangan di lengan kiri, masih ada waktu setengah jam lagi. Sesuai dengan isi surat tersebut, aku pun melangkah cepat meninggalkan keramaian di tepi danau. Tujuanku hanya satu, tempat yang sama di mana aku dan Aldo terakhir bertemu.

Netra menatap jalan setapak yang hanya bisa dilalui satu mobil tersebut. Jalan itu melewati persawahan penduduk, menuju daerah perbukitan dan hutan. Beberapa kali aku berpapasan dengan penduduk setempat yang baru pulang dari sawah. Dengan cepat kumelangkah menuju ke sebuah tempat di sudut danau, tempat yang jauh dari keramaian manusia.

Tempat ini masih sama, batinku. Netra menatap sekeliling tetapi tidak ada seorang manusia pun di sana. Setelah menarik napas panjang, aku duduk sendirian menatap keindahan Danau Maninjau yang membius kalbu.

"Di sinilah aku, sama seperti dulu. Saat terakhir kita bersama," bisikku. Kenangan itu pun kembali muncul, bagaikan potongan puzzle yang menyatu.

***

Delapan tahun yang lalu ...

Pagi itu aku sedang berada di rumah Arina, ketika tiba-tiba menerima kabar kedatangan Aldo dari Australia. Ini sangat mengejutkan, karena tidak pernah sekali pun dia menyebutkan tentang rencana kepulangannya ke Indonesia.

Beberapa bulan ini, hubungan kami memang agak janggal. Aku merasakan banyak perubahan dari Aldo. Tidak ada lagi SMS, telepon maupun surat dengan alasan kesibukannya. Bahkan dia sangat jarang mengirimkanku sebuah email.

Dengan mengabaikan rasa curiga yang datang melanda, aku selalu berusaha berpikir positif. Kalau memang tidak bisa menyusul Aldo ke sana, berikanlah dukungan agar dia bisa menyelesaikan semua urusan secepatnya hingga kami bisa segera bersatu. Bukankah semua yang dia lakukan untuk masa depan kami berdua?

"Kau sudah meneleponnya lagi?" tanya Arina untuk kesekian kalinya.

"Ya, tapi tidak diangkat. Haruskah aku ke rumahnya?" Pukulan Arina di pundak segera menyadarkanku.

"Kau gila. Memangnya orang tuanya sudah tahu tentang dirimu?" Arina menyipitkan kedua matanya dan menatapku curiga.

"Tentu saja belum. Kami belum memperkenalkan diri ke keluarga masing-masing," kataku sambil menarik napas. Arina pun hanya menggelengkan kepalanya.

"Ya sudah, kita tunggu saja. Kalau memang kabar itu betul, dia pasti akan meneleponmu," ujarnya sambil tersenyum.

Aku hanya menarik napas panjang. Kabar itu tidak mungkin salah. Kami mengetahui kedatangan Aldo dari teman dekatnya, bahkan sudah tersebar di grup alumni kampusnya. Teman-teman Aldo bahkan lebih dahulu tahu dari pada aku, kekasihnya.

"Hey, jangan melamun terus. Dia pasti mengabarimu. Mungkin dia sedang menyiapkan kejutan untukmu," kata Arina sambil mengedipkan mata.

"Kejutan apa? Orang lain bahkan lebih dulu tahu tentang keberadaannya daripada aku," ketusku.

"Siapa tahu, dia sedang menyiapkan kejutan untuk melamarmu," bisik Arina.

Seketika wajahku memerah, jantungku berdegup kencang.

Benarkah? Apakah itu alasan dia menjauhiku beberapa bulan ini? Mungkin dia sengaja, membiarkanku bertanya-tanya dan marah sehingga kejutan ini lebih bermakna, batinku.

"Cieeee, yang mau dilamar," goda Arina.

Aku pun segera mengejar Arina yang tertawa sambil berlari ke ruang tamu. Seketika langkahku terhenti bersamaan dengan dering ponsel yang bergema.

"Dari Aldo," gumamku.

**

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang