Part 28 : Usil

234 14 0
                                    

Rabu pagi yang diawali dengan hujan gerimis tidak menghalangiku memacu motor ke rumah sakit, sedangkan bapak duduk di belakangku. Tadi malam Da Ip tinggal sendirian untuk menjaga mamak di rumah sakit. Pagi ini kami akan mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mamak ke rumah, sesuai rekomendasi dokter. Aku sengaja minta izin untuk datang terlambat ke kantor hari ini.

Kondisi ibuku masih lemah, tetapi aku sudah bisa melihat semangat hidup di wajahnya. Dia kelihatan sangat senang bisa kembali ke rumah dan berkumpul bersama keluarga. Aku segera menuju ke ruang perawat untuk menyelesaikan segala administrasi yang diperlukan. Sedangkan Da Ip sudah mengantri untuk mengambil obat yang diresepkan oleh dokter.

Setelah mendapatkan surat kontrol dokter, surat rekomendasi cuci darah dan obat-obatan untuk seminggu, kami pun memanggil taksi untuk membawa mamak dan barang-barang kami. Keluarga kami memang belum punya mobil. Sekarang aku benar-benar berpikir untuk membeli sebuah mobil bekas dari uang tabunganku. Bagaimanapun mamak harus ke rumah sakit setiap dua kali seminggu untuk cuci darah, tidak mungkin kami membawanya dengan sepeda motor atau memakai taksi setiap saat.

Diiringi gerimis yang tidak berhenti sejak pagi, aku dan bapak menemani mamak di dalam taksi. Sedangkan Da Ip kembali pulang dengan membawa sepeda motorku. Setelah sampai di rumah, Yandi dan keluarga sudah menunggu kami. Selain itu beberapa tetangga dekat juga datang untuk melihat mamak. Syukurlah kami memiliki tetangga yang baik walaupun banyak juga diantara mereka yang usil, terutama tentang pernikahanku.

Pernah suatu hari, mamak pulang dari wirid di Masjid dekat rumah dengan air muka kesal. Aku yang penasaran tak tahan untuk bertanya.

"Kenapa, Mak. Kok jadi cemberut. Gak dapat arisan hari ini, ya?" tanyaku dengan heran. Ibuku memang aktif di pengajian ibu-ibu, sekaligus arisan sekali seminggu.

"Bukan. Itu Mak Iin, nanya terus kapan kau nikah. Setiap jumpa dimanapun, pasti dia bertanya terus. Heran, nikah atau gak nikah kan anakku, kenapa dia yang sibuk. Aku tak pernah urus anak gadis orang," kata ibuku masih dengan muka kesal.

"Kenapalah orang-orang sini selalu usil dengan kehidupan kita. Lihatlah tetangga depan itu, anak gadisnya lima, hampir sama usianya dengan kau, tetapi tak ada orang yang berani menggunjingi mereka. Apa karena mereka orang kaya raya? Nah, kalau kita ... kau kuliah , dibicarakan orang. Kau pergi merantau ke Jakarta, digunjingi orang juga. Belum menikah, ditanya-tanya terus ... lama-lama bisa Mamak kasarin mereka," lanjut ibuku dengan muka geram. Sepertinya amarah di hatinya masih membara. Aku hanya diam sambil mendengarkan omelan ibuku.

"Yah, biarkan ajalah, Mak, orang mau ngomong apa. Yang penting Rysha tidak berbuat salah, tidak mencemarkan nama baik keluarga dan tidak menyusahkan orang lain," kataku sambil tersenyum dan menyodorkan goreng pisang hangat untuk ibuku.

Masih dengan wajah kesal ibuku memasukkan goreng pisang ke mulutnya. "Kau tahu anak Bu Ety yang tinggal di jalan mangga itu, dia baru nikah enam bulan yang lalu, sekarang sudah melahirkan," kata ibuku.

"Ya, Allah ..." aku menutup mulutku, tak sanggup berkata apa-apa. Anak Bu Ety tersebut juga temanku walau usianya dua tahun lebih tua dariku.

"Kalau yang seperti itu digunjingi, ya tidak apa-apa. Sudah jelas dia berbuat salah. Kalau hanya karena belum menikah, digunjingi terus, itukan kurang ajar namanya," ibuku masih terus melanjutkan omelannya. Aku tahu, ibuku tidak akan berhenti sebelum dia puas. Jadi aku hanya mendengarkan semua curahan hatinya sambil duduk santai. Sore itu, saking kesalnya, ibuku menghabiskan sepiring pisang goreng dan secangkir kopi hangat.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang