Part 29 : Perjodohan

293 15 2
                                    


Kehadiran Yandi bersama keluarganya benar-benar membawa nuansa berbeda di rumah kami. Suara keempat keponakanku yang sedang bermain di rumah, berlari kesana kemari, kadang berkelahi membuat rumah kami menjadi sangat ramai.

"Ante, bang Galih jahat, dia rebut mobilan Aka," kata keponakanku Raka ketika melihatku duduk di teras selepas makan malam. Dia memang terbiasa memanggilku ante.

Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Galih, keponakanku yang berusia lima tahun datang berlari dengan membawa sebuah mobil-mobilan berwarna merah tua.

"Tak ada Galih ambil, cuma minjam aja. Nih, ambil lagi." Galih menyodorkan mainan tersebut ke tangan Raka.

"Nah gitu, abang Galih tidak boleh merebut mainan adik. Kalau mau main, sama-sama aja ya," kataku tersenyum sambil membelai kepala mereka.

Baru beberapa menit Galih dan Raka bermain di ruang tengah, tiba-tiba terdengar tangisan Raka. Rupanya Riki mengambil mainan Raka dan terjadilah perkelahian. Akhirnya Ahya turun tangan, menyelesaikan perselisihan anak-anak tersebut. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka, membayangkan bagaimana anak-anakku nanti. Tiba-tiba kalimat Maya pada malam itu kembali terngiang di telingaku.

"Jangan lama-lama, nanti jadi perawan tua. Kalau sudah tua nanti susah punya anak."

Aku menarik nafas dalam-dalam, tidak ada yang mau menjadi perawan tua atau tidak memiliki anak. Aku yakin semua wanita di dunia ini pasti ingin memiliki keluarga yang sempurna, tetapi jalan hidup setiap orang tidaklah sama. Kita hanya menjalankan ketetapan Allah, bagaimanapun jodoh, rizki, maut, maupun anak adalah ketetapan Allah.

"Uni, melamun lagi?" kata Ahya yang tiba-tiba datang dari belakang, membuyarkan lamunanku.

"Eh, gak kok. Cuma cari angin saja, malam ini agak panas ya," kataku tersenyum sambil memperhatikan motor yang lalu lalang di jalan depan rumah kami.

Ahya kemudian duduk di sampingku. Udara malam minggu ini memang cukup panas sehingga lebih enak duduk di teras menikmati angin sepoi-sepoi. Tidak beberapa lama kemudian Ni Lisa datang bersama Da Ip dan Ratna, anaknya yang paling besar yang sekarang sudah kelas tiga SD. Da Ip membawa keempat keponakanku untuk membeli es krim di alfamart dekat rumah. Sedangkan Ni Lisa ikut duduk bergabung bersama kami. Ibuku sendiri sudah tertidur di kamarnya, sedangkan bapak pergi ke Mesjid bersama Yandi untuk sholat isya.

"Ada yang mau Ni Lisa sampaikan, kalau Rysha tidak keberatan. Mumpung keadaan Mamak sudah mulai sehat dan stabil," kata Ni Lisa memulai percakapan.

"Ada apa, Ni?" tanyaku penasaran sambil memandang Ni Lisa yang tersenyum.

"Ada yang mau berkenalan dengan Rysha. Dia teman Uni di bimbingan belajar, lebih muda dari Rysha tapi anaknya baik dan sopan. Mungkin kalian bisa ketemu dulu, siapa tahu jodoh," kata Ni Lisa.

"Wah, ambil aja Uni. Siapa tahu kita akan baralek gadang tahun ini," kata Ahya dengan semangat.

Aku hanya tersenyum kecut, perjodohan lagi, entah yang sudah berapa kali.

"Bagaimana? Mau tidak? Kalau iya, nanti Uni mintakan fotonya," kata Ni Lisa.

"Eh, jangan Uni, tak usah pakai foto. Kalau dia serius, suruh datang ke rumah aja langsung," kataku spontan. Aku memang tidak mau menyimpan foto laki-laki manapun lagi.

"Benarkah? Minggu depan ya, sebelum Ahya balik ke Aceh," kata Ni Lisa sambil tersenyum manis.

Ahya pun mengangguk tanda setuju. Entah mengapa, malam ini angin sepoi pun terasa seperti angin panas di wajahku.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang