Part 56 : Kemarahan Putri

153 12 0
                                    


"Rysha mau menikah? Satu bulan lagi?" tanya Ibuku.

Sore itu, kami bertiga duduk di teras rumah. Kondisi ibuku memang masih lemah karena cuci darah yang harus dia jalani dua kali seminggu. Ada kalanya dia terlihat begitu tidak berdaya. Luka di kakinya juga masih belum sembuh secara sempurna. Tetapi semangat hidupnya luar biasa. Aku bisa melihat wajahnya yang kini memancarkan rona bahagia.

"Iya, Mak. Masih ingat dengan teman Lisa yang datang untuk makan malam kemarin? Sebenarnya, dia sengaja Lisa undang untuk perjodohan dengan Rysha. Sekarang Rysha sudah setuju dan Andika meminta waktu satu bulan. Menurut mamak bagaimana? Mamak setuju juga 'kan?" jawab Ni Lisa panjang lebar.

"Anak muda itu? Tentu saja mamak setuju. Tapi ... dia terlihat lebih muda darimu, Sha. Apakah itu tidak masalah buat keluarganya?" tanya ibuku sambil menatapku.

"InshaAllah tidak masalah, Mak. Andika pasti juga akan bicara dengan ibunya," jawabku sambil tersenyum.

"Baiklah, mamak sangat senang. Akhirnya mamak bisa melihatmu menikah sebelum mamak meninggal," kata ibuku dengan mata berkaca-kaca.

Aku pun terharu dan segera memeluk ibuku. "Mamak jangan berkata begitu, mamak akan baik-baik saja," kataku dengan terisak. Kami pun berpelukan untuk waktu yang lama.

"Sudah, Mak, jangan menangis lagi. Kita sedang mendapat berita bahagia, inshaAllah pernikahan Rysha sebentar lagi," ujar Ni Lisa sambil mengelus punggung ibuku.

"Kita harus segera bicara dengan bapak kalian. Banyak yang harus kita kerjakan, sebulan itu tidaklah lama. Kita juga harus memberitahu keluarga yang lain," kata ibuku sambil mengusap air matanya.

Kami berdua pun mengangguk. Memang banyak yang harus dipersiapkan, apalagi aku anak perempuan satu-satunya. Keluargaku pasti tidak mau pernikahan yang sederhana walaupun aku lebih suka kesederhanaan.

***

Kamis siang, aku sampai di depan gerbang kost Putri yang terlihat lengang. Sudah tiga hari Putri tidak masuk kantor. Bagaimanapun aku harus menyelesaikan masalahku dengan Putri. Ini pasti tidak mudah, mengingat bagaimana reaksi Putri ketika berjumpa kami di restoran itu tempo hari.

Perlahan aku langkahkan kaki menuju kamar Putri yang setengah terbuka, sayup terdengar suara orang yang sedang berbicara.

"Assalamualaikum," sapaku sambil mengetuk pintu. Hening sebentar.

"Waalaikumsalam," balas seseorang dari dalam. Rahma pun keluar dan membukakan pintu untukku.

"Katakan padanya untuk pergi. Aku tidak mau melihat wajah munafiknya!" teriak Putri dari dalam kamar.

Rahma menatapku dengan tatapan tak berdaya. Aku pun dapat memahami situasinya.

"Aku tidak akan lama. Aku hanya butuh bicara dengan Putri. Bisakah kau tinggalkan kami berdua?" tanyaku memohon pengertiannya.

Dia pun mengangguk. "Aku ke kamar dulu ya, Put. Ada yang mau aku kerjakan," kata Rahma sambil melangkah pergi.

Aku melangkah masuk tanpa dipersilakan lebih dahulu, aku tahu Putri tidak akan bersikap ramah kepadaku. Putri terlihat kusut masai, seperti orang yang tidak mandi untuk beberapa hari. Wajah cantiknya terlihat seperti mayat, tapi matanya jalang menatapku.

"Mau apa ke sini? Aku tidak butuh belas kasihan darimu. Aku juga tidak sudi melihat wajahmu yang munafik itu!" katanya sambil membuang muka.

Aku menarik napas dalam. "Maaf, Put. Aku mau tahu kabarmu. Sudah tiga hari kau tidak masuk kantor, aku khawatir," kataku tulus.

Dia pun tertawa sinis. "Ya ampun, sudahlah, Kak. Jangan main sandiwara lagi, aku tahu persis orang seperti apa dirimu. Orang yang sangat kupercaya tapi menusukku dari belakang. Seperti pagar makan tanaman, dasar munafik!" kata Putri kembali sambil menantangku.

Aku berusaha keras menahan emosi yang hampir tersulut. Entah sudah berapa kali dia mengatakan aku munafik.

Tenang Rysha, dia sedang marah dan emosi. Dia merasa dikhianati, dia bisa berkata apa saja. Kau juga pernah berada di posisi itu, kan? Batinku.

"Kau berhak marah dan merasa dikhianati, tapi tolong dengarkan penjelasanku dulu. Hubunganku dengan Andika –"

"Aku tidak butuh penjelasan apapun," potong Putri, "kau orang pertama yang aku percaya sehingga aku menceritakan semua perasaanku padamu. Tak kusangka, kau bermain di belakangku dan mencuri pacarku," lanjutnya.

"Apa? Pacarmu? Sejak kapan kalian pacaran? Yang kutahu Andika telah menolak cintamu," kataku dengan nada tinggi. Akhirnya emosiku meledak juga.

"Aku tidak peduli, dia mencintaiku atau tidak. Tapi aku benar-benar heran, kenapa kau mau dengan laki-laki yang lebih muda darimu? Dia itu seumur adikmu, apa kau tidak malu? Apakah kau sudah tidak tahan lagi untuk melepas status perawan tuamu?" katanya dengan berapi-api.

Aku beristighfar dalam hati. Tanganku terkepal kuat. Aku berusaha mengatur napas supaya tetap tenang. Gadis ini memiliki wajah cantik tetapi lidahnya setajam pedang. Aku tahu, kami berdua tidak akan bisa berbicara dengan tenang pada saat ini. Aku pun memilih mundur.

"Aku hanya ingin mengatakan bahwa jangan merendahkan dirimu sendiri dengan mengejar laki-laki yang tidak mencintaimu," kataku sambil beranjak pergi.

"Aku tidak akan menyerah! Kalau Bang Dika tidak bisa membalas cintaku, maka dia akan melihat seperti apa pengorbananku. Apa saja bisa terjadi sebelum akad nikah. Ingat itu!" serunya dari balik pintu.

Aku melangkah pergi dengan perasaan tidak menentu. Kata orang, ketika kita akan menikah, banyak ujian yang akan datang, mungkin ini salah satunya.

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang