07. Elang Memang Aneh
Kelas XI IPA 5, jam kedua dan ketiga adalah waktunya pelajaran penjaskes, pelajaran paling banyak diminati oleh siswa. Beruntung, Ragas kali ini membawa kaos olahraga. Meskipun Bu Mumun sudah mengikrarkan jika Ragas sudah di keluarkan dari sekolah, tapi Ragas tidak peduli. Lagipula Ralin sudah ia tugaskan untuk membujuk guru BK tersebut.
Ragas bergegas keluar dari kamar mandi setelah mengganti seragamnya dengan kaos olahraga. Cowok itu berjalan menuju loker dan meletakkan tas berserta seragamnya tadi.
Setiap saat, loker Ragas selalu penuh dengan surat cinta yang entah siapa pemiliknya. Bukan hanya itu, cokelat batangan juga seringkali Ragas dapatkan, dan karena ia tidak menyukai cokelat, selalu Ragas memberikannya kepada teman-temannya, terutama Elang yang doyan banget jika mulutnya sudah di cocol oleh makanan tersebut.
Berjalan menuruni anak tangga, akhirnya Ragas sampai di lapangan. Langsung saja cowok itu bergabung dengan teman kelasnya. Terutama di barisan belakang, di mana Elang, Nolan, Miko, dan Saka berada. Tidak ada yang tahu kalau sebenarnya Ragas dikeluarkan dari sekolah, hanya mereka berempat yang sudah mengetahui fakta itu.
Makanya, saat melihat batang hidung Ragas yang ikut bergabung dalam pemanasan, seketika saja mengundang kebingungan dari para sohibnya tersebut.
"Gas, kok lo bisa di sini?" tanya Elang dengan kening menyerngit tanda jika ia tengah bingung. "Bukannya lo udah di tendang, kan, sampai Amerika dari sini?"
Nolan, yang berdiri tepat di samping kiri Elang, langsung saja menghadiahi cowok itu jitakan kepala kasar. "Itu mulut kalo ngomong suka ngasal, filter dulu woy!"
"Maap bang, saya khilaf nih, tadi malam Abi nonton Spiderman soalnya," ujar Elang, cengengesan tidak jelas.
Saka mencebikkan bibirnya, ikut menindas Elang. "bodo Lang bodo, nggak ada hubungan juga. Terserah lo deh," sungutnya agak kesal.
Tidak mau ikut campur, Miko yang bawahannya selalu tenang, memilih untuk mendesah panjang dan fokus terhadap Ragas. Sama, ia juga ingin tahu kenapa Ragas bisa ada di sini. Dan kalau semisal cowok itu tidak jadi di drop out dari sekolah, lantas jam pertama tadi kenapa Ragas tidak masuk kelas? Miko kepo akan hal itu.
"Jadi gimana Gas, lo nggak jadi dikeluarkan?" Miko bertanya sambil menggerak-gerakkan tangannya untuk pemanasan.
Ragas menatap Miko datar, kemudian mengendikkan bahu cuek. "Gue nggak tahu. Tapi cewek yang udah bikin gue kayak gini udah gue suruh buat bujuk Bu Mumun supaya cabut keputusan itu," jawabnya santai.
Nolan langsung menyambung. "Kok bisa? Cewek yang lo maksud siapa emangnya?"
"Ralin, kemarin gue tanya kelas di ada di mana karena gue mau bahas soal ini," jawab Ragas.
Berpikir sejenak, Saka akhirnya ingin tahu juga. "Terus tuh cewek mau gitu di suruh sama lo?"
Tanpa berpikir panjang, Ragas menganggukkan kepala. "Mana berani dia nolak? Berani nolak, tangan gue melayang," ucapnya tegas, diakhir senyuman picik.
"Santai aja bro, kasihan dia. Cewek lho, daripada di ancam gitu, mending embat aja deh, biar lo nggak jomlo," celetuk Elang sambil terkekeh.
Ragas segera mengalihkan pandangannya menuju Elang yang mengejeknya barusan. "Berani berurusan sama gue, artinya berani nanggung masalahnya."
"Kalo gitu, sejak tadi lo di mana? Lo nggak masuk kelas," tanya Miko lagi, masih ingin tahu apa yang Ragas lakukan.
"Ke kelas tuh cewek lah, hari ini gue bujuk dia buat ngomong sama Bu Mumun. Dan sekarang dia lagi di dalem, biarin aja biar dituding habis-habisan, kalo perlu dia aja yang dikeluarkan dari sekolah. Ngeselin!" Mengingat Ralin yang terlihat tidak takut kepada dirinya, membuat Ragas emosi. Jika orang lain takut, cewek ini justru berani melawan. Ragas tidak terima, ia akan mengejar Ralin supaya bisa tunduk dengannya.
Ragas menghela napas pendek, pandanganya kemudian beralih menatap sekeliling. Teman kelasnya yang lain banyak yang duduk-duduk di pinggir lapangan, terutama kaum hawa yang takut sengatan sinar matahari. Ada pula yang bermain basket, minton, dan sisanya bermain voli.
Menyatukan alisnya bingung, Ragas menoleh pada Nolan, kemudian bertanya, "ini olahraga apaan emang?"
"Bebas, pak Sudirman lagi sakit."
"Lha, sakit apaan emang? Biasanya juga brigas," jawab Ragas.
"Iya, biasanya juga matanya ngejreng waktu lihat cewek-cewek yang lagi olahraga. Gue baru tahu kalo guru olahraga bisa sakit," celetuk Saka.
"Ya bisa sakit lah, dia juga manusia! Lo semua nggak ngotak, ya?" cetus Elang.
Seketika saja Ragas, Miko, Nolan, dan Saka saling melempar pandangan ketika Elang sudah berkata. Bukan apa, tapi mereka agak bingung dengan sahabatnya satu ini.
Merasa aneh, Miko maju ke hadapan Elang dan langsung meletakkan punggung tangannya di dahi cowok itu. "Nggak panas."
Terusik oleh apa yang Miko lakukan, Elang menyentak tangan sohibnya itu seraya berdecak kesal. "Apaan sih lo!"
"Ini beneran Elang bukan sih? Tumben ngomongnya bener gitu, nggak lagi kesambet, kan?" Saka menyerngitkan dahi, berbicara sambil menatap penuh selidik ke arah Elang.
"Gue juga curiga, jangan-jangan ketiban tai cicak jadi aneh nih anak," timpal Nolan hingga mengundang decakan kasar Elang.
"Sumpah aneh lo semua," ujar Elang kesal.
Memasang tampang cool, Ragas segera menjawab, "ya bukannya kita aneh. Lo yang aneh, biasanya lo kan selalu gila."
Ucapan Ragas membuat semua terkekeh geli, kecuali Elang yang menatap sinis karena sudah di ejek secara masal oleh teman-temannya. Elang tidak habis pikir, ngomong benar di bilang aneh, sedangkan kalo ngomong ngawur selalu di ejek. Ini yang bener sebenarnya siapa sih?
Elang pura-pura memasang tampang bete, tangannya kini terlipat di depan dada dengan bibir yang ia monyong-monyongkan. Gila memang, bukannya menggemaskan, raut wajah Elang malah membuat orang lain pengin hujat habis-habisan.
"Ah dedek sebel deh sama abang-abang semua, dedek disakiti lagi, dasar abang jahat," ujar Elang dramatis sembari mengentak-entak kakinya kesal.
Di antara mereka berlima, memang Elang yang sering mengeluarkan tingkah receh. Omongannya yang kadang tidak di filter membuat siapa saja pasti kesal. Oleh karena itu, ketika tadi Elang menyeletuk dengan respon normal, seketika saja menyebabkan semuanya bingung. Tidak biasanya Elang seperti itu.
"Eh buset, baru aja diomongin, udah mulai gila lagi nih anak," ujar Saka mencebikkan bibirnya, kemudian wajahnya menoleh, menyorot Miko yang sejak tadi banyak diamnya. "Ko, buruan eksekusi nih anak biar bisa diem."
Dengan cuek, Miko menunjuk Nolan dengan dagunya, "noh dia aja," responnya singkat. Memang Miko jarang sekali ngomong, sikapnya sudah dingin dari lahir. Cowok itu akan berbicara jika ada yang perlu diomongin, tipikal orang-orang yang sering di hujat habis-habisan karena responsnya selalu kurang memuaskan dengan jawaban singkat seperti itu.
"Pokoknya dedek masih marah kalo abang-abang nggak beliin dedek janda anak tiga!" ujar Elang lagi, dan ulahnya seper itu selalu mengundang gelak tawa.
Elang belum juga berhenti ngelucu, cowok itu kini menatap Ragas dengan bola mata membesar. "Bang Agas, beliin dedek janda dong, kalo bisa yang anaknya udah tiga, kalo masih satu juga boleh. Mau ya?"
Ragas menyatukan alis, menatap Elang horor. "Nggak mau!"
"Ish bang Agas jahat sama dedek, nanti dedek aduin ke mama!"
"Terserah lo Lang, makin gede makin gesrek aja tuh otak."
TBC
Makasih yang udah mau nunggu update, aku selalu berusaha buat update cepet. Biar kalian nggak nunggu gitu. Digantungin emang nggak enak banget.
Spam NEXT di sini untuk lanjut biar author semangat
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Burn the Bad Boy (END)
Teen Fiction"Arjun terus yang dipilih. Kapan lo milih gue?" tanya Ragas dengan kesak sambil menatap Ralin. "Kalo Arjun ajak lo ke kantin lagi, apa lo bakal nolak?" "Oh ya nggak mungkin gue tolak dong. Arjun ngajak gue ke kantin? Berduaan? Makan bakso? Dan gue...