58. SEBUAH SYARAT

868 114 91
                                    

Menuju ending banget nih. Udah siap baca?
Udah siap vote dan Komentar?

HAPPY READING 💓

Aksi pukul memukul antara Ragas dan Lathan terhenti ketika ada warga yang berdatangan. Mereka berdua langsung cabut dari tempat. Dan untungnya, tidak ada satupun warga yang mengejarnya. Meskipun sebenarnya Ragas masih ingin terus berlanjut melakukan serangan, tapi ia tidak bisa melakukannya lagi. Selain ada warga, badan Ragas juga merasakan sakit. Wajahnya babak belur, luka ada sisa sini. Darah juga mengucur dengan deras dari pelipis dan sudut bibirnya. Matanya bengkak, pipinya nampak kebiruan.

Dengan kecepatan motornya yang berada diatas rata-rata, Ragas membawa motornya menuju apartemennya. Sudah satu Minggu lebih Ragas tidak mengunjungi tempat itu. Keadaan Ralin sendiri Ragas juga tidak tahu. Dan entah kenapa Ragas ingin pergi ke sana sekarang juga. Ada perihal penting yang akan ia bahas dengan Ralin. Lebih tepatnya ia akan mengambil sebuah keputusan yang menurutnya sangat tepat.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di tujuan dengan motor yang melaju secepat kilat. Buru-buru Ragas memarkirkan motornya dan mulai melenggang menuju apartemennya. Ia mengacuhkan rasa sakit yang masih tubuhnya rasakan. Wajah babak belurnya berhasil cowok itu abaikan.

Bel dipencet tiga kali, tapi Ragas tidak kunjung melihat tanda-tanda pintu akan dibuka. Hal itu membuatnya kesal. Mendengkus kasar, Ragas mencobanya lagi. Dan akhirnya, bunyi pintu yang dibuka terdengar. Membuat Ragas segara menoleh.

Detik berikutnya terlihatlah Ralin yang begitu terkejut melihat kehadiran Ragas. Cewek itu terlihat begitu berantakan. Penampilannya tidak terurus, kantung matanya terlihat jelas bahwa ia kekurangan tidur. Satu hal lagi, Ralin juga terlihat lebih kurus. Pasti napsu makan cewek itu tidak kunjung hadir.

Dengan wajahnya yang masih terlihat shock, Ralin berjalan mendekat Ragas. Bibir pucatnya bergetar. Melihat Ragas membuat Ralin ingin memuntahkan air matanya. Dan tanpa disuruh lagi, kelopak matanya sudah merasakan panas. Hingga setitik air matanya jatuh.

"Ragas ..." Ralin bergumam lirih. Perasaanya saat ini tidak bisa digambarkan dengan jelas. Kaki Ralin sudah semakin dekat dengan cowok itu. Hingga pada akhirnya, Ralin langsung memeluk tubuh Ragas dari depan.

Ralin mengeratkan pelukannya, ia menangis kencang. Betapa senangnya ia melihat Ragas ada di sini, dihadapannya, bisa ia rengkuh detik ini juga. Sementara itu, Ragas diam tanpa membalas pelukan Ralin. Tatapan kosongnya mengarah ke depan.

"Ragas, aku kangen sama kamu." Ralin kembali berkata disela isak tangisnya yang belum kunjung terhenti. Ia semakin erat memeluk Ragas, seolah tidak mau kehilangan cowok itu untuk kedua kalinya.

Ragas masih saja membungkamkan mulutnya.

"Kamu jangan pergi ninggalin aku lagi Ragas. Aku takut sendirian, aku nggak mau kamu pergi. Aku sayang kamu." Ralin menggeleng-gelengkan kepalanya. Air matanya kembali jatuh. Diletakkan pipinya di dada bidang Ragas. Ralin benar-benar kehilangan Ragas, satu minggu ini ia merasa begitu kesepian tanpa kehadiran cowok itu.

Ralin melepaskan pelukannya, kemudian ia mendongakkan kepala. Baru saja mulutnya terbuka hendak mengucapkan sebuah kalimat, Ragas terlebih dahulu memegang tangan Ralin dan menggandengnya masuk ke dalam rumah.

Setelah keduanya sudah berada di dalam rumah, Ragas langsung menutup pintu dengan perlahan. Ia menatap Ralin dengan ekspresi wajah datar. Ralin membalas tatapan Ragas dengan alis yang saling bertautan.

"Ragas, muka kamu kenapa babak belur gitu?" tanya Ralin prihatin sekaligus penasaran.

Ragas menghela napas pelan sambil berjalan mendekati Ralin. Sudut bibir Ragas yang sedikit sobek terangkat keatas, menciptakan sebuah senyuman tipis. Cowok itu kemudian menunduk untuk menatap wajah Ralin karena tinggi badan mereka cukup terpaut jauh.

"Kamu khawatir?" tanya Ragas. Bola matanya yang indah terus menatap Ralin, membuat Ralin betah menatapnya lama-lama. Akhirnya, Ralin pun mengangguk kecil.

"Ragas, kamu berantem sama siapa?" Ralin meringis ngilu menatap Ragas. Perlahan, tangannya terangkat dan menyentuh secara hati-hati permukaan wajah Ragas yang lebam. Ragas diam tak bergerak ketika jari tangan Ralin menyentuh kulitnya yang penuh dengan luka tersebut. Ragas memejamkan matanya.

"Ralin," panggil Ragas.

"Iya?"

Ragas menghela napas pendek. "Kamu sayang aku?" tanyanya pelan.

Tak berpikir dua kali, segera Ralin mengangguk. "Aku sayang banget sama kamu Ragas. Aku nggak mau kamu pergi lagi, aku takut sendirian."

Bola mata Ragas semakin berpendar. Kedua tangan cowok itu kemudian terangkat dan langsung mendarat di bahu Ralin. Diusapnya pelan bahu cewek itu dengan lembut. "Aku nggak bakal pergi ninggalin kamu lagi."

Ralin merasakan jika pelupuk matanya kembali memanas. Ia menatap haru ke arah Ragas. Bibirnya kembali bergetar. Tak kuasa menahan rasa senangnya, Ralin mengangguk semangat sambil mengusap air matanya yang tiba-tiba saja luruh dari sudut matanya.

"Janji?"

"Asalkan kamu bisa memenuhi syarat dari aku."

Kening Ralin langsung bergelombang. "Syarat?"

"Aku bakal kembali ke kamu asalkan kamu gugurin kandungan kamu sekarang juga."

TBC

Chapter ini memang sedikit. Nggak ada 1000 kata. Makannya kalian bacanya singkat banget, kan?

Gimana tuh? Ragas minta Ralin gugurin kandungannya?

Gimana soal Ralin sendiri? Apa dia bakal mau, terus setelah itu dirinya bisa hidup tenang dengan Ragas lagi?

Temukan jawabannya di chapter selanjutnya!

Next kapan nih?

Entar malam?🤣

Jadi triple update dong kalo entar malam beneran update?

Memangnya ada yang masih pengin baca lanjutannya?

Jangan lupa spam komentar gaes!

How to Burn the Bad Boy (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang