Saran dari aku, kalian puter lagu sedih deh untuk baca chapter ini biar feel-nya dapat. Aku udah siapin track diatas, barangkali ada yang mau muter, dipersilahkan:)
Penuh emosi baca chapter ini wkwk.
Siapkan jari buat komentar dan vote ya!
HAPPY READING 💓
Bekas tamparan Ragas dipipinya masih dapat Ralin rasakan. Denyutan perih itu kembali hadir setelah sekian lama. Ralin terus terisak lirih sambil memegangi area tamparan Ragas beberapa saat yang lalu. Tangisnya pecah begitu saja. Dan ia sadar, kali ini dirinya yang salah. Sebuah tamparan yang melayang dipipinya barusan memang sepatutnya ia dapatkan.
Ralin berjalan mengikuti Ragas menuju kamarnya, ia tahu bahwa cowok itu sangat terguncang dengan fakta yang ia beberkan tadi. Mau bagaimana lagi? Ralin diletakkan disebuah pilihan yang rumit. Kalau saja tadi ia tidak membicarakan perihal dirinya hamil, lama kelamaan Ragas juga akan tahu. Dan Ralin pikir, memberitahu sebuah fakta itu lebih cepat akan lebih baik. Tapi bukan seperti ini yang Ralin mau, ia tidak mau Ragas sampai membencinya walaupun kemungkinan itu sungguh kecil untuk Ralin harapkan.
Menyeret langkahnya dengan tangis yang belum kunjung memudar, Ralin menatap Ragas dari ambang pintu. Terlihat cowok itu tengah memakai sebuah jaket, kemudian mengambil kunci motor yang berada di atas nakas.
Seolah tidak peduli dengan keberadaan Ralin, Ragas melangkahkan kakinya begitu saja keluar dari kamar tanpa melirik cewek itu sedikitpun. Hatinya masih tertampar akan perkataan Ralin tadi. Dan Ragas sungguh emosi kali ini.
Ralin membelokkan pandangannya menatap punggung Ragas yang mulai berjalan menuju pintu utama. Ralin sudah menebaknya dengan pasti, cowok itu akan pergi. Dan itu membuat dada Ralin semakin terasa sakit.
"Ragas," panggil Ralin lirih ditengah isak tangisnya. Langkahnya pun kembali terseret mengikuti ke mana Ragas pergi.
Ragas tidak peduli akan panggilin Ralin. Cowok itu justru menambah gerak langkahnya. Membuat Ralin sedikit berlari untuk mengejar ketertinggalannya.
"Ragas," panggilnya lagi.
Ralin kini berlari kencang sebelum Ragas membuka pintu. Dan akhirnya ia pun dapat menjangkau cowok itu dengan cara memeluk Ragas dengan sangat erat. Tangisnya sedari tadi belum juga surut.
"Kamu mau ... Ke mana?" tanya Ralin dengan suara seraknya. Ia meraung dan menggeleng sambil membenamkan wajahnya di punggung Ragas.
"Ragas ... Hiks ... Jangan pergi, ak—
"Lepasin!" Ragas berucap dingin.
"Nggak mau, aku takut hiks ... Di rumah sendiri. Kamu jangan pergi Ragas, plis ...." cicit Ralin, suaranya terdengar bergetar.
"Lepasin!" Ragas berusaha melepaskan tangan Ralin yang melilit perutnya. Ia masih belum bisa memaafkan apa yang Ralin perbuat. Ia masih kaget dan saat ini Ragas butuh ketenangan. Ralin sudah mengecewakan dirinya, dan hati Ragas benar-benar sakit dan tertampar.
"Aku nggak mau!" raung Ralin.
"Gue bilang lepasin!"
"Jangan pergi, aku mohon sama kamu Ragas." Ralin membeberkan semua air matanya yang tertampung dipelupuk matanya. Ia semakin erat memeluk Ragas agar cowok itu masih di sini, disamping dirinya. Ralin benar-benar takut kehilangan Ragas.
"BURUAN LEPASIN!" Ragas menggertak keras. Dengan kekuatan besarnya, akhirnya ia dapat dengan mudah melepaskan lilitan tangan Ralin. Ia pun berbalik badan dengan tatapan memerah tajam beserta rahangnya yang mulai meneras. Giginya bergemeretak menahan amarah yang kian bergejolak. Ia menatap Ralin berang. Lalu, disaat Ralin hampir memeluknya lagi, dengan sigap Ragas mendorong cewek itu ke belakang sampai tubuh Ralin ambruk di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Burn the Bad Boy (END)
Teen Fiction"Arjun terus yang dipilih. Kapan lo milih gue?" tanya Ragas dengan kesak sambil menatap Ralin. "Kalo Arjun ajak lo ke kantin lagi, apa lo bakal nolak?" "Oh ya nggak mungkin gue tolak dong. Arjun ngajak gue ke kantin? Berduaan? Makan bakso? Dan gue...