55. INGATAN

909 98 50
                                    

Ada yang nunggu cerita ini update?

Siapkan jari kalian buat vote dan spam komentar ya!

Happy Reading 💓

Di sudut kamarnya, Ralin memeluk dirinya dengan air matanya yang belum bisa berhenti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sudut kamarnya, Ralin memeluk dirinya dengan air matanya yang belum bisa berhenti. Penampilannya terlihat sangat kacau, terutama rambutnya yang nampak acak-acakan. Ia meraung keras hingga sesekali menjambak rambutnya sendiri. Tangisnya semakin pecah. Yang Ralin inginkan sekarang hanyalah Ragas. Ralin ingin berada di sisinya dan memeluk Ragas seerat mungkin. Namun, karena sadar hal itu hanya bisa ia gapai dikhayalan, Ralin hanya bisa menahan tangisnya dan memegangi dadanya yang sakit.

Ralin bergumam lirih, "Ragas ... Plis pulang. Aku butuh kamu, aku hiks ... Bisa jelasin semuanya." Ia kemudian menutup mulutnya, berusaha menahan agar suara tangisnya tidak terlalu keras terdengar.

Tiba-tiba, ingatan Ralin terlempar akan kejadian waktu itu, waktu ketika ia pergi jalan-jalan ke mall dengan para sahabatnya. Perlahan, memori itu terputar di kepalanya bagaikan film lama.

FLASHBACK ON

"Dara, katanya lo mau anterin gue ke toilet. Buruan dong, udah kebelet banget nih gue," oceh Fika seraya menarik tangan Dara dengan tidak sabar, membuat Dara berdecak jengkel. Bibirnya kini manyun beberapa senti.

"Sabar elah, nanti tangan gue putus kalo lo tarik-tarik gini," sahut Dara.

Lalu, keduanya pun memutuskan diri menghindar dari gerombolan untuk mencari toilet. Kini tersisa hanya Ralin dan Kana. Mereka berdua saling berpandangan.

"Kita enaknya nunggu mereka di mana?" Ralin bertanya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling, berusaha mencari tempat.

Kana juga menyapu pandangan di sekitar. Hingga akhirnya tatapannya terpaku ke arah sesuatu bersamaan dengan sudut bibirnya yang naik membentuk senyuman tipis. Ia menepuk pundak Ralin pelan. "Kita nunggu di sana aja gimana? Mereka pasti gampang nyari kita." Kana berbicara pelan sembari menunjuk sebuah kursi panjang tidak jauh dari tempatnya kini berdiri.

Ralin mengikuti arah telunjuk Kana. Tanpa pikir panjang ia mengangguk. "Ya udah ayo!" serunya, ia pun hendak melangkah ke tujuan mereka, tapi secara spontan gerak kakinya terhenti ketika tangannya dipegang Kana.

Ralin menoleh ke belakang, satu alisnya naik ke atas. "Kenapa?" tanyanya bingung.

Kana mengambil ponselnya yang baru saja berbunyi. "Ada yang nelpon gue, bentar dulu gue lihat siapa yang nelpon."

"Yaudah angkat aja, siapa tahu itu penting."

Kana menangguk singkat, lalu ia pun menatap layar ponselnya beberapa saat dan mengangkat panggilan telepon. Beberapa menit kemudian,  pandangannya kembali terpusat ke arah Ralin. Ia mendesah panjang. "Ralin, maafin gue, ya? Kayaknya gue bakal pulang sekarang."

How to Burn the Bad Boy (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang