Mau update kemarin sebenarnya, tapi wattpad lagi ngambek jadi aku tunda dulu. Btw ada yang setia nunggu nggak nih :)
Yang kangen siapa nih?
Semoga suka sama chapt. Ini ya dan Jangan lupa vote dan KOMENTARNYA!
Ragas sangat beruntung hari ini, senyumannya tidak bisa dihilangkan dari wajahnya. Ia merasa lega dan hatinya menghangat melihat mamanya yang datang ke sekolah, alih-alih papanya. Sudah bisa dipastikan jika Ragas akan terkena omelan dan hukuman lagi jika papanya tahu menahu kalau anaknya masuk ke ruang konseling lagi. Tadi malam, dengan sengaja Ragas memang memberikan amplop dari Bu Mumun agar dibaca mamanya.
Tidak hanya Ragas, Ralin pun merasakan hal yang serupa. Erna, mamanya juga di undang oleh Bu Mumun. Jika Ragas merasa biasa saja bahkan sedikit lega, berbeda dengan Ralin yang malah merasakan sebaliknya. Ia was-was dan takut. Tentu saja, ia sama sekali tidak pernah masuk ke ruang keramat itu. Hanya kali ini ia mendapatkan kesialan yang nampaknya ia sedang dijebak oleh seseorang. Ralin juga takut reaksi mamanya ketika tahu bahwa anaknya ciuman dengan Ragas di aula.
Sementara mama Ragas dan Ralin berada di dalam, mereka berdua tidak diperbolehkan masuk. Ralin duduk dengan gelisah di kursi depan ruang konseling. Berulang kali Ralin bergerak gelisah.
Ragas yang sedari tadi menancapkan sorot matanya pada Ralin, akhirnya ia memilih untuk duduk tepat di samping cewek itu. Ragas tetap memperhatikan Ralin yang wajahnya menyiratkan banyak kegundahan dan kecemasan.
Kedua kaki Ralin terus bergerak tidak tenang, tangannya juga bergetar, dan Ragas tahu jika Ralin tengah dilanda oleh gelombang ketakutan. Hingga akhirnya Ragas memberanikan diri untuk mengambil tangan Ralin dan menggenggamnya erat.
Tersentak kaget, Ralin langsung menoleh ke arah tangannya, kemudian dilanjutkan menatap Ragas yang sudah mengangguk kecil dan mengusung sentuhan tipis. Ralin melotot, dan ketika ia hendak melepaskan tangannya dari belenggu genggaman Ragas, cowok itu justru merekatkan tangannya.
"Lepasin tangan gue!" ucap Ralin ketus.
"Gue nggak bakal lepasin kalo lo panik terus, udah mending lo diem. Percaya sama gue," balas Ragas setengah berbisik. Karena ia tahu posisi bahwa sekarang ada di sekitar ruangan konseling, berbicara keras akan menimbulkan masalah lain.
Apa yang Ralin takutkan kini terjadi juga, dadanya bergetar ketika jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Seberapa kuat dan jauh pun Ralin menyangkalnya, ia tidak bisa mengelak jika berada di dekat Ragas akan selalu seperti ini.
Tapi entah kenapa genggaman tangan Ragas membuat Ralin agak tenang, meskipun perasaan takut masih bersarang. Namun ini lebih baik meskipun Ralin sulit untuk mengakuinya. Diam-diam ia memberanikan diri melirik Ragas, yang rupanya cowok itu juga sedang menatapnya. Ralin kepergok, buru-buru ia mengalihkan pandangannya.
"Kalo mau natap gue natap aja," gumam Ragas.
"Dih pede banget lo, siapa yang mau natap lo!" Ralin membalasnya sinis, diakhiri dengan putaran bola matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Burn the Bad Boy (END)
Fiksi Remaja"Arjun terus yang dipilih. Kapan lo milih gue?" tanya Ragas dengan kesak sambil menatap Ralin. "Kalo Arjun ajak lo ke kantin lagi, apa lo bakal nolak?" "Oh ya nggak mungkin gue tolak dong. Arjun ngajak gue ke kantin? Berduaan? Makan bakso? Dan gue...