Vote dan komentar jangan lupa ya!
Kenapa jadinya seperti ini? Siapa orang yang sudah menyebar informasi tidak benar seperti itu? Semuanya salah, Ralin sama sekali tidak pernah berciuman dengan Ragas. Di aula waktu itu Ralin hanya membalas tatapan Ragas yang tajam. Memang jika dilihat dari posisi lain, mereka seperti sedang berciuman. Tapi itu tidak benar-benar terjadi. Ralin rasanya ingin menangis karena ditatap oleh semua siswa."Ralin, gue percaya sama lo kok," ucap Kana, menyentuh punggung tangan Ralin dan mengusapnya lembut. Senyuman Kana dibalas senyuman pula oleh Ralin.
"Gue juga percaya, lo nggak mungkin kayak gitu," sambung Fika yang setuju dengan Kana. Ralin pun mengangguk haru mendengarnya.
"Gue juga sama. Lagian nggak mungkin juga lo ciuman sama Ragas," ujar Dara.
Ralin mengusap air matanya yang menetes dari sudut matanya. Ia menatap sahabatnya secara bergantian. Hanya mereka yang mengerti, paham, dan percaya apa yang dirinya katakan. Ralin sangat beruntung. "Makasih ya lo semua udah percaya sama gue."
"Tenang aja Lin, nggak usah dengerin apa yang orang lain omongin. Selagi lo nggak ngerasa salah, lo jangan takut. Bawa santai aja, lagian lo masih punya kita kok," ucap Kana menenangkan. Ia memeluk Ralin dari samping. Disusul oleh Fika dari sini yang lain. Sementara Dara menyambung dari belakang.
"Ralin," panggil seseorang, membuat pelukan keempat cewek itu kini terlepas. Ralin mendongak dan menemukan Budi, teman cowok dikelasnya.
"Kenapa Bud?"
"Lo disuruh Bu Mumun ke ruang BK," ujar Budi. Dan sesaat setelah Ralin mengangguk, Budi pun pergi. Ralin mengembuskan napas panjang sambil menatap Kana yang mengeratkan genggaman tangannya.
"Jangan takut, lo nggak salah," ucap Kana menyemangati.
Mengangguk singkat seraya tersenyum tipis, Ralin menjawab lembut. "Makasih ya, gue pergi dulu kalo gitu. Doain gue biar kejadian buruk nggak datang ke gue lagi."
Setelah sampai di ruang BK, Ralin duduk berhadapan dengan Bu Mumun. Disampingnya juga ada Ragas. Baru kali ini Ralin menginjakkan kaki di ruang keramat. Rasanya was-was dan takut. Bahkan Ralin sudah berkeringat, detak jantungnya sudah tidak terkendali. Belum lagi tatapan Bu Mumun yang menghujamkan, membuat Ralin meneguk ludahnya dengan kasar.
"Jadi gosip itu memang benar?" tanya Bu Mumun, menatap Ragas dan Ralin bergantian.
"Iya."
"Enggak."
Ragas dan Ralin kompak menjawab, tapi kata yang meluncur dari bibir masing-masing terdengar berbeda. Mereka saling menatap, dan Ralin melotot lebar pada Ragas.
"Jadi yang benar yang mana? Iya atau enggak?" ulang Bu Mumun.
"Enggak Bu, semua itu salah. Saya nggak pernah ituan sama Ragas," jawab Ralin.
"Pinter banget nyari alasan. Ngaku aja apa susahnya sih?" balas Ragas sambil tersenyum miring kepada Ralin. "Bukanya apa ya Bu, saya nggak mau nyari masalah lagi sama ibu, jadi kali ini saya nggak mau nyari masalah baru. Saya ngomong jujur, dan terserah ibu mau percaya sama saya atau Ralin."
Ralin benar-benar kesal setengah mati kepada Ragas. Pinter banget membual seperti itu. Kapan ia ciuman dengan cowok itu? Mau membantah, tapi Bu Mumun terlanjur berbicara sesuatu.
"Kalian tahu nggak kalo tindakan kalian itu bisa merusak citra sekolah kita? Sekolah kita itu sekolah favorit. Banyak yang pengin masuk ke sini, hanya gara-gara ulah kalian ini, ibu dan guru-guru yang lain sampai bingung. Kita semua takut kalo apa yang kalian lakuin itu bisa tersebar ke sekolah lain. Siapa yang bakal nanggung semuanya? Sekolah, kan?"
"Tapi saya nggak lakuin itu Bu. Beneran, saya nggak bohong," ujar Ralin membela dirinya. Sementara Ragas hanya diam tanpa merasa takut ataupun bersalah.
"Udah udah, ibu nggak mau denger alasan lagi. Sekarang ibu buatkan surat untuk orang tua kalian. Terus mereka harus datang ke sini, biar ibu bisa ngomong sama mereka. Tindakan kalian ini pasti bakal bikin orang tua malu."
Setelah itu Bu Mumun menyuruh keduanya pergi dari ruang BK. Apapun yang Ralin katakan, Bu Mumun tidak akan percaya, padahal Ralin mengatakan yang sejujurnya, sesuai dengan faktanya. Tapi kenapa ucapannya dianggap angin lalu?
Ralin menutup wajahnya sambil bersandar di tembok depan ruang BK. Ia lelah, rasanya ingin menangis.
"Ralin, lo nangis?" tanya Ragas, ia berdiri di samping Ralin. Menyentuh bahu cewek itu, tapi Ralin langsung menggeser tubuhnya agar pegangan Ragas terlepas.
"Lo nyebelin Gas," ujar Ralin parau, suaranya sedikit serak.
Ragas diam, tapi ia mendengarkan apa yang Ralin ucapkan. Ia terus menatap Ralin.
"Kenapa lo nggak ngomong sejujurnya, kenapa harus bohong?" tanya Ralin sambil terisak lirih.
"Siapapun yang nyebarin info nggak bener itu, gue nggak bakal tinggal diem kalo tahu siapa pelakunya!" Ralin mengusap kasar wajahnya dan segera pergi dari sana. Ragas hanya mematung sambil terus menatap Ralin yang semakin kecil dan jauh dari pandangannya.Penampilan Ralin terlihat berantakan. Gosip tidak benar itu masih saja beredar dan menusuk telinganya. Sampai Ralin bosan mendengarnya. Ia merasa malu, dituduh melakukan sesuatu yang tidak kita lakukan sama sekali tidak enak. Kenapa harus sampai berlebihan kayak gini? Ralin bingung sendiri dan ia mencoba untuk bersikap tenang. Ia percaya, seiring berjalannya waktu, pasti kejadian ini akan terlupakan. Semoga saja cepat berlalu karena Ralin sudah muak oleh makian, bisikan, sindiran, dan candaan yang orang lain lontarkan untuk dirinya.
Sesampainya di depan kelasnya, Ralin menemukan Arjun yang duduk di kursi depan kelasnya. Ralin tersenyum kecil dan ia mendekat cowok itu. Ralin duduk di samping Arjun.
"Kenapa lo datang ke kelas gue Jun?" tanya Ralin, berusaha menampilkan raut wajah seperti biasa meskipun sekarang ia tidak mau berbicara dengan siapa-siapa. Mood-nya hilang, dan Ralin butuh ketenangan.
"Ada yang mau gue omongin sama lo," jawab Arjun.
Ralin menghembuskan napas panjang. "soal gosip itu?" Lo udah termakan gosip murahan dan sialan itu?"
Arjun mengangguk. "Iya, gue mau ngomong soal itu."
"Lo percaya sama itu semua? Lo percaya sama gue, kan Jun? Gue nggak pernah ciuman sama Ragas. Semua itu salah paham, lo percaya, kan?"
Arjun menatap Ralin dalam sebelum akhirnya ia mengusung senyuman tipis. Ia merapatkan tubuhnya ke tubuh Ralin. Dengan posesif, Arjun memeluk Ralin dari samping.
"Gue percaya sama lo kok. Lo pacar gue, ngapain juga harus percaya soal itu semua? Lagipula lo benci Ragas, nggak mungkin lo ngelakuin itu sama dia. Tenang aja Lin, gue ada di pihak lo. Gue sayang lo."
TBC
Dari ucapan dan tindakan Ragas yang seolah-olah tidak merasa keberatan dengan informasi itu. Sekarang udah jelas banget kan siapa yang nempel informasi itu?
Cerita ini masih terus berlanjut, ada sebuah konflik yang menanti kalian nantinya. Masih cukup panjang untuk mendekati ending. Dan kalian udah siap menjemput?
Ada yang mau di omongin sama Ragas?
Ada yang mau di omongin sama Ralin?
Mau update kapan lagi nih?
Nanti malam double Update lagi siapa yang mau?
Komentar sebanyak-banyaknya agar hati author tergerak buat update nanti malam!
Selamat spam 🤭
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Burn the Bad Boy (END)
Teen Fiction"Arjun terus yang dipilih. Kapan lo milih gue?" tanya Ragas dengan kesak sambil menatap Ralin. "Kalo Arjun ajak lo ke kantin lagi, apa lo bakal nolak?" "Oh ya nggak mungkin gue tolak dong. Arjun ngajak gue ke kantin? Berduaan? Makan bakso? Dan gue...