42

5.2K 171 2
                                    


Tok..tok..

"Dek! Bangun!"

"Lisya!!"

"Eh monyet!"

Azriel terus saja mengetuk pintu dan memanggil Allisya dari luar. Dengan raut kesal tentu saja, sudah sejak tadi di teriak-teriak didepan pintu kamar ini. Sesekali, laki-laki itu melirik jam tangannya, pukul 9 malam. Dan Allisya belum keluar kamar sejak pulang sekolah tadi.

"Eh lo masih hidup kan ya?!" Azriel terus saja memanggil dari luar. Hingga akhirnya, pintu kamar tersebut terbuka dan menampilkan Allisya dengan keadaan acak-acakan nya.

Lihat lah rambutnya yang terurai berantakan itu, belum lagi pakaiannya yang kusut seperti belum disetrika. Seperti gelandangan saja.

"Apa sih?"

Azriel mengernyit, memicing menatap Allisya. Kenapa suara Allisya tiba-tiba menjadi serak? Lalu, matanya tampak bengkak. Apakah—

"Lo abis nangis?"

"Hah? E-enggak kok. Orang gue baru bangun tidur." Jawab Allisya gagu.

"Terus kenapa suara lo serak gitu?" Azriel terus saja menodongkan pertanyaan padanya.

"Oh, i-ini tenggorokan gue lagi sakit, batuk. Makanya jadi serak." Jawabnya lagi dengan cepat.

Azriel masih menatap tak percaya. Tapi akhirnya menyerah juga.

"Yaudah, bersih-bersih sana lo. Abis itu turun, makan. Dari tadi pulang sekolah tadi belum ada makan sama sekali kan?" Azriel mengacak sebentar rambut Allisya yang memang sudah berantakan itu, kemudian segera turun kebawah.

Allisya menghela nafas lega setelah Azriel turun dari lantai 2.

"Hampir aja. Uh, perhatian banget sih. Mana ganteng banget lagi. Gue sikat juga nih lama-lama. Beruntung banget pasti cewek yang bakal jadi pasangannya nanti." Ocehnya.

Allisya tersenyum samar, merasa sedikit hangat dengan perhatian kecil Azriel tadi. Setidaknya, itu dapat sedikit mengurangi kesedihannya.

***

BRAKK!!

"Astaghfirullah! Eh tapir! Lo bisa gak sih pelan-pelan bukan pintunya? Kalo rusak nanti gimana?" Omel laki-laki itu.

"Bodi amat ya bang dep! Itu gak penting!" Sahut gadis itu tak peduli.

Devan mengernyit, "Terus, mau ngapain lo kesini?"

Melissa belum menjawab. Gadis itu ikut duduk diatas tempat tidur Devan, dan menatapnya tajam.

"Kenapa kalian bisa berantem?"

"Siapa?"

Melissa memutar bola matanya malas, "Lo sama mba Lisya lah."

"Gimana lo bisa tau?"

Lagi, Melissa memutar bola matanya," Heh! Denger ya bang dep, satu sekolah jaga tau kali kalo kalian berantem. Lagian sih, berantem di kantin. Ya diliatin sama orang-orang dong. Kayak gak tau aja mulut orang tuh gimana. Mana berantemnya gara-gara tuh Mak Lampir lagi. Ck! Bener-bener deh."

Devan menghela nafas, "Ya mau gimana lagi? Gue tuh berusaha buat kasih penjelasan ke dia. Tapi dianya gak mau dengerin. Ya jadinya gitu deh."

Melissa memicing, "Lagian, lo juga sih! Kenapa harus pake bohong segala? Gini kan jadinya? Ah! Kesel gue lama-lama sama lo." Kesalnya.

"Gue cuma ga mau kehilangan dia. Itu aja."

Melissa tersenyum sinis, "Lo yang ga mau kehilangan dia, atau lo yang masih ada rasa sama Mak Lampir?"

Tangan Devan mengepal. Laki-laki itu tampak tersulut emosi, "Maksud lo apa?!"

"Lo terlalu penurut sama Mak Lampir itu. Lo selalu terima paksaan tuh Mak Lampir dengan alibi lo terlalu takut buat jujur. Gue jadi curiga, jangan-jangan lo masih sayang sama dia."

"Jaga ucapan lo! Karena itu ga mungkin terjadi!"

Melissa terkekeh, "Ya, gue harap juga gitu."

"Denger ya bang dep, gue gak peduli kalo lo itu adalah sepupu gue. Kalo lo sampe nyakitin mba Lisya, gue gak segan-segan buat kasih pelajaran ke lo! Ingat itu!" Desis Melissa tajam, kemudian segera beranjak.

"Dan satu lagi, pilih lo jelasin secara langsung ke dia, atau perlu gue yang ngomong?" Ucap Melissa penuh penekanan, sebelum menutup pintu kamar.

Devan diam, setelah Melissa keluar dari kamarnya. Laki-laki itu terus merenungi ucapan Melissa tadi.

Tidak!

Tidak mungkin Devan masih menyimpan rasa pada perempuan itu. Karena Devan, sangat membencinya sekarang.

Lalu, apakah ia harus jujur ya? Ya, mungkin itu lebih baik.

Tapi tetap saja, Devan merasa sangat pusing dengan semua yang sedang terjadi! Argh! Kembalinya Salsa dalam hidupnya membuat semuanya hancur!

***

"HAHAHAHA!!"

Tawa jahat terdengar dari kedua orang itu.

"Bagus! Lo bener-bener pinter! Setengah rencana udah berhasil. Sekarang, kita harus pastiin hubungan mereka bener-bener hancur." Ucap laki-laki itu.

"Pasti dong! Tunggu aja puncaknya, dimana hubungan mereka bener-bener berakhir." Senyum devil tidak dapat disembunyikan dari wajah perempuan itu.

"Good!"

***

Langit sore tampak cerah hari ini. Langit masih terlihat biru. Namun, bulan sudah muncul saja di langit.

Angin bertiup tidak terlalu kencang, cukup membuat segar. Keadaan sedikit hening, setidaknya dapat lebih menenangkan hati dan pikiran.

Bunga-bunga yang sedang mekar itu tampak indah dengan ragam warnanya. Tertiup angin yang berhembus membuatnya bergoyang.

Gadis itu memetik salah satu bunganya, dan membawanya ke sebuah kursi panjang disana. Ia tersenyum menatap bunga itu, "Bunga yang sangat indah."

Senyum diwajahnya perlahan menghilang. Raut bahagianya kini tengah bersembunyi. Tergantikan dengan raut sendu yang menampakkan diri.

Gadis itu memejamkan matanya, ketika sekelebat bayangan masa lalu itu kembali melintas dipikirannya.

'Gimana? Lisya suka sama tamannya?'

'Suka banget, Pa!'

'Ini adalah hadiah ulangtahun Lisya yang ke-5. Tapi kalo Lisya mau minta yang lain lagi, boleh kok.'

'Makasih, Papa sayang.'

Allisya kembali membuka matanya. Cerita masa lalu itu, tidak pernah berhenti menghantuinya setiap kali ia datang kesini. Selalu saja terbuka. Seolah, buku masa lalu itu tidak mau di tutup. Ingin tetap terbuka, membiarkan dirinya kembali menyelam dalam kisah yang telah lama berakhir itu.

Ia menatap sekeliling. Taman ini, masih tampak seperti dulu. Meski telah bertahun-tahun. Allisya terus merawat taman ini, tidak mau taman ini menjadi tidak terawat dan hancur. Bagaimanapun taman ini merupakan salah satu kenangan masa kecilnya.

Dulu, David lah yang membuatkan taman ini untuknya. Hadiah ulangtahun yang ke-5, katanya. Tentu saja Allisya sangat senang. Hampir setiap sore, ia bersepeda disini bersama David.

Namun, semuanya berubah drastis saat ia berusia 6 tahun. Kebahagiaan itu, hampir tak pernah ia rasakan lagi. Semuanya seolah terenggut secara paksa.

"However, I can't forgot that memories. The memories when I still felt be happiest person in the world. And I miss everything about that."

***

Troublemaker [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang