EXTRA PART

15.2K 311 7
                                    


Beberapa tahun kemudian...

Berlin, 08.30 CEST.

"DADDY!! WAKE UP DAD!"

"DAD!!"

Bocah laki-laki itu mencoba untuk membangunkan sang ayah yang masih bergelung dibawah selimutnya. Bocah berumur 5 tahun itu terus saja mengguncang bahu sang ayah dan berteriak tepat ditelinga nya, agar ayahnya itu bangun.

"Hmm... What's going on, boy?"

Bocah laki-laki itu tersenyum lebar, ketika ayahnya mulai membuka mata. Sepertinya usahanya untuk berteriak sejak tadi tidak sia-sia.

"It's a half past eight. Don't you want to wake up?"

Laki-laki itu meregangkan otot tubuhnya, memaksakan matanya yang masih mengantuk untuk terbuka. Ia merubah posisinya yang semula berbaring menjadi duduk, kemudian menatap bocah laki-laki yang sangat mirip dengannya itu.

"Well, I wake up now."

"Where is your Mom, Sam?"

Ia mengangkat tubuh bocah itu--Samuel, kemudian membawanya ke pangkuannya.

"She's cooking in the kitchen."

Laki-laki itu mengangguk, "Have you take a bath?"

Samuel tersenyum bangga, "Of course. Because I woke up early. Not like you, kebo." Ucapnya mengejek.

Devan tertawa kecil. Astaga, belajar darimana anaknya itu kata kebo? Ia mengacak rambut Samuel yang berwarna coklat.

"Wait a minute."

Ia beranjak dari tempat tidur, kemudian masuk kedalam kamar mandi untuk mencuci wajah dan menggosok gigi. Setelah itu, ia keluar dari kamar mandi dan menghampiri Samuel.

"Let's meet your Mom, boy."

Devan menggendong Samuel, membawanya keluar kamar. Ia menapaki satu persatu anak tangga, kemudian berjalan menuju dapur.

Ia menghampiri seorang wanita yang tengah berkutat dengan pisaunya.

"Morning, honey." Bisiknya.

"Basi. Udah siang ini."

Devan terkekeh mendengar jawaban ketus itu. Baiklah, sepertinya istrinya itu sedang marah padanya.

"Jangan ketus gitu, dong. Nanti jadi makin cantik." Godanya mencolek pipi istrinya.

"Au ah! Udah sana, minggir!"

Devan tertawa kecil melihat wajah kesal itu. Ia kemudian mencuri ciuman dari sang istri. Melumatnya sebentar.

Allisya melotot, kemudian mencubit perutnya dan langsung mendorongnya agar segera menjauh.

"Van! Disini ada Samuel!" Ia menatap Devan tajam.

"Dad, what are you doing?

Devan menepuk keningnya ketika Samuel menatapnya penasaran. Ah, ia lupa jika saat ini Samuel masih berada dalam gendongannya. Ia hanya menunjukkan cengiran nya ketika Allisya juga menatapnya tajam.

"Forget it, Sam. Lebih baik sekarang kamu main aja sana."

Bocah laki-laki itu mengangguk. Devan kemudian menurunkannya dari gendongannya.

"Okay, Mom."

Sebenarnya, Samuel mengerti jika orang tuanya atau siapapun speak bahasa padanya. Yah, meskipun tidak terlalu paham juga sih. Tetapi untuk mengucapkan nya, Samuel masih belum bisa. Itu sebabnya, ia selalu speak English. Dan ia hanya akan menggunakan bahasa kebangsaan negeri ini jika dengan orang lain dan teman-teman bermainnya.

"Lain kali jangan gitu kalo ada Sam." Ucap Allisya memperingatkan ketika Samuel sudah pergi meninggalkan dapur.

Bukannya merasa bersalah, laki-laki itu malah tersenyum jahil, "Berarti kalo lagi ga ada Sam, boleh dong? Kayak gini?" Ia kembali menciumnya.

Allisya kembali melotot pada Devan, namun sepertinya laki-laki itu tidak memperdulikan tatapan tajamnya. Ia hanya pasrah ketika tubuhnya semakin ditarik untuk merapat.

Ia mendorong tubuh laki-laki itu dengan cepat ketika merasa pasokan udara nya semakin menipis. Ditariknya nafas dalam-dalam.

"Udah, minggir sana. Ga usah ganggu." Usirnya.

"Ga mau."

Bukannya menuruti ucapannya, Devan malah memeluk tubuhnya dari belakang. Membuatnya menjadi sulit untuk bergerak.

"Cepetan minggir!"

"Ga mau, sayang."

Allisya menggeram. Kemudian, ia tersenyum miring ketika sebuah ide cemerlang melintas di otak cerdasnya.

"Minggir atau nanti malam tidur diluar?"

"E-eh, kok gitu?" Ucap Devan tampak protes.

"Jadi pilih mana?"

Dengan wajah kesalnya dan sangat terpaksa, ia melepaskan pelukannya dan memilih untuk duduk di kursi meja makan. Tidak mungkin bukan ia mengorbankan malamnya untuk tidur diluar?

"Ck! Kamu mah mainnya ngancem. Kejam!"

Allisya hanya tersenyum puas ketika ancamannya berhasil. Tanpa memperdulikan wajah kesal Devan, ia melanjutkan kegiatan masaknya yang sempat terganggu.

***

"Have a nice dream, little boy."

Allisya menarik selimut itu hingga sebatas dada, untuk menutupi tubuh Samuel. Ia kemudian mengecup kening putranya yang sudah mulai tertidur.

Ia menatap lama wajah putranya, kemudian tersenyum kecil. Samuel Zachary Madava, putra mereka yang lahir 5 tahun lalu. Wajahnya sangat tampan, persis seperti ayahnya. Ia memperhatikan setiap inci wajah Samuel. Benar-benar mirip dengan Devan. Apalagi ketika mata elang itu menatap tajam. Hanya saja, wajah Samuel terlihat lebih bule.

Dulu, 2 bulan setelah pernikahan, mereka memutuskan untuk menetap di Berlin. Itu karena Devan yang harus mengurus perusahaan pusat milik keluarganya, karena ia adalah putra tunggal keluarga Madava.

Allisya kembali mengecup kening putranya, lalu dengan gerakan pelan, ia turun dari tempat tidur dan mematikan lampunya. Ia kemudian keluar dari kamar itu dan kembali ke kamarnya.

"Sam udah tidur?"

Allisya menoleh sebentar pada Devan yang sedang duduk diatas ranjang sambil memangku laptopnya, lalu menghampirinya.

"Udah."

"Udah malem, besok aja lanjutnya."

Devan menoleh sebentar, kemudian tersenyum tipis, "Bentar lagi. Tanggung banget ini."

"Jangan malem-malem tidurnya."

Allisya menarik selimutnya, memilih untuk tidur duluan. Namun, ia belum sepenuhnya tidur. Matanya hanya terpejam saja. Ia kemudian merasakan pergerakan di tempat tidurnya. Sepertinya Devan sudah menyelesaikan pekerjaannya.

Tak lama kemudian, ia merasakan sepasang tangan kekar memeluknya dari belakang. Allisya kembali membuka matanya.

"Van?"

"Belum tidur?" Devan sedikit terkejut ketika Allisya tiba-tiba membalikkan badannya.

Allisya menggeleng kecil, "Kebetulan inget, aku pengen ngomong sesuatu."

Alisnya terangkat, sembari menyelipkan rambut Allisya kebelakang telinga, "Apa?"

"Dari kemarin Sam terus bilang, dia kangen Evelyn. Dia juga pengen main lagi sama Arka katanya. Lagian, tahun kemarin kita ga jadi ke Jakarta kan?"

Devan mengangguk mengerti, "Yaudah, lusa kita ke sana."

Allisya mendelik mendengar jawaban enteng suaminya, "Terus kerjaan kamu?"

"Kebetulan aku ada urusan disana." Ia mengangguk saja mendengar jawaban itu.

Devan tersenyum, kemudian mengelus rambut panjang itu, "Yaudah, ayo tidur."

Ia mengecup kening Allisya sebentar, lalu berbisik pelan, "Sleep well, sweetie."

***

Troublemaker [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang