60

7K 200 6
                                    


Ceklek

Pintu berwarna cokelat itu terbuka. Seorang laki-laki keluar dari ruangan itu dengan raut wajah tak terbaca. Ia kemudian memasuki kamar, membuka pintu yang menghubungkan antara kamar dan balkonnya.

Kedua tangannya menumpu pada pembatas balkon. Ia merunduk, menatap kebawah. Helaan nafas berat terdengar.

"Argh!!"

Devan mengacak rambutnya frustasi. Wajahnya tampak kusut, kentara sekali jika saat ini ada banyak beban yang mengganggu pikirannya.

"Bang dep! Lo dimana?"

Suara seseorang yang memanggil namanya terdengar dari dalam kamarnya, namun ia abaikan begitu saja.

Huh, kepalanya sangat pusing sekarang. Memikirkan hal-hal yang sangat membebani pikirannya.

"Dasar cicak! Dipanggil dari tadi kaga nyaut-nyaut. Padahal dia sini."

Devan menatap malas pada Arnold yang berdiri disampingnya. Biarkan sajalah laki-laki itu menggerutu.

"Kenapa?"

"Elahh bang, melas banget muka lo. Keliatan banget banyak beban hidupnya, hahaha."

Devan hanya menatap datar pada Arnold yang tengah tertawa sekarang. Saat ini ia sedang tidak ingin basa basi.

Arnold langsung berdehem, ketika sadar tengah di tatap seperti itu.

"Nih, gue cuma mau ngasih handphone lo. Lo sih, pake ninggalin tuh handphone di kamar gue. Oh iya, tadi ada telepon tuh. Coba lo telpon balik, siapa tau penting."

Setelah itu, Arnold pergi dari sana. Devan hanya menatap ponselnya yang kini tengah berada di genggaman nya, sekilas. Tak berminat untuk melakukan hal yang seperti dikatakan Arnold tadi.

Namun, semakin lama ia mengabaikan, ia jadi penasaran siapa yang meneleponnya tadi. Akhirnya, dengan sedikit malas ia melihat log panggilan dan mencoba untuk menghubungi kembali seseorang yang meneleponnya tadi.

"Kenapa?" Tanyanya pada seseorang diseberang sana.

"...."

Ia mengerutkan keningnya, "Gue lagi ga mood buat bercanda."

"...."

Tut.

Tanpa menjawab lagi ucapan lawan bicaranya di telepon, Devan langsung mematikan sambungan telepon sepihak. Dengan sedikit terburu-buru ia kembali masuk kedalam kamarnya, mengambil kunci mobil yang tergeletak diatas meja.

Dengan langkah cepat kakinya menapaki tangga, sehingga membuat semua orang yang melihatnya merasa bingung.

"Mau kemana?"

Devan hanya menunjukkan senyumannya, yang membuat mereka semakin bingung. Padahal kan, sejak beberapa hari terakhir ini, laki-laki itu terus saja murung.

***

Langkahnya semakin memelan ketika ia hampir sampai di depan ruangan bernomor 24 itu. Devan berhenti tepat didepan ruangan itu, meraih handle pintu namun belum berani membukanya.

Ia menarik nafas dalam. Setelah terdiam cukup lama, perlahan ia membuka handle pintu tersebut.

Devan tertegun, ketika melihat sosok yang sedang tersenyum itu. Sosok yang selama ini sangat ia harapkan untuk segera membuka matanya. Dan kini, mata indah itu telah terbuka. Bahkan bibir tipis itu telah tersenyum kembali.

Semua orang didalam ruangan itu menoleh, termasuk Allisya. Devan tersenyum tipis, kemudian berjalan mendekati mereka.

"Eh, kita keluar dulu ya."

Seakan mengerti, Nadira memberi kode pada yang lainnya untuk memberikan mereka waktu.

"Udah lama?" Allisya mengernyit mendengar pertanyaan itu.

"Apanya?"

"Siuman nya."

"Hm, udah sih. Mungkin satu jam yang lalu."

Kini gantian Devan yang mengernyit, "Kok baru tadi Abang lo kasih tau?"

Allisya hanya tersenyum jenaka dan mengangkat bahunya menatap Devan yang tampak protes.

Melihat Allisya yang tersenyum membuat Devan ikut tersenyum, seolah kekesalannya langsung menguap begitu saja.

Ah, senyuman itu. Pasti akan jadi hal yang sangat ia rindukan. Wajahnya berubah sendu.

"Kenapa?" Tanya Allisya yang dapat melihat raut tidak menyenangkan itu.

Devan menggeleng kecil dan kembali tersenyum, "Nggak."

"Gimana? Ada yang masih sakit? Tangan lo?"

"Nggak kok. Gue kan kuat."

Devan tersenyum menatap wajah ceria gadis itu. Rautnya terlihat biasa saja seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

"Gue tau itu." Ia kemudian mencubit hidung gadis itu.

"Ih! Kebiasaan banget lo!"

Devan hanya terkekeh melihat wajah kesal Allisya. Huh, sepertinya hal ini juga akan masuk kedalam list nya. Ia hanya menghela nafas.

***

Ia berdiri ditengah keramaian bandara. Banyak orang berlalu lalang disekitarnya.

"Mama sama Papa berangkat duluan. Semua keperluan kamu udah Mama siapin kok."

Devan menatap Mamanya yang sedang tersenyum tipis.

"Ma.. apa semuanya ga bisa dibatalin?"

Erina tersenyum tipis, menatap wajah sendu putranya. Ia tahu bagaimana perasaannya sekarang.

"Itu semua udah keputusan Papa. Maaf, Mama ga bisa bantu."

Devan menghela nafas, menatap Papanya yang saat ini sedang berdiri di samping Mamanya. Ia tahu, bahwa ia tidak akan bisa protes pada Papanya. Sifat keras kepalanya saja diturunkan dari Papanya. Lalu bagaimana mana ia bisa protes jika Papanya saja sudah kekeuh dengan keputusannya?

"Itu yang terbaik."

Lihat kan?

"Tapi Pa..."

"15 menit lagi pesawat bakal take off." Adrian menatap arlojinya, berpura-pura mengabaikan putranya.

Devan mendengus. Ck! Papanya itu... Selalu saja! Setiap ia ingin membujuknya, pasti ujung-ujungnya dirinya akan diabaikan seperti itu. Seolah tak memberinya kesempatan untuk berbicara.

"Papa bener. Udah, jangan kesel gitu. Bicarakan ini baik-baik, oke?" Erina mengelus rambut putranya.

Devan mengangguk kecil. Sudahlah, sepertinya tidak ada pilihan lain.

Tapi, apa ia bisa?

Entahlah, kita lihat saja nanti.

***

Troublemaker [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang