Malam kini terlah berganti siang. Sinar rembulan kini telah tergantikan oleh sinar matahari. Cahaya matahari yang menyeruak masuk kedalam kamarnya membuat gadis itu menggeliat dibalik selimutnya."Jam berapa nih?"
Suaranya terdengar serak, mungkin karena efek baru bangun tidur. Allisya meregangkan tangannya, kemudian melihat kearah jam dinding kamarnya, pukul 8.
Tatapannya lalu beralih pada Meisya yang masih terlelap disampingnya. Senyum kecil terbit di bibirnya. Dengan gerakan pelan, Allisya turun dari tempat tidur dan segera masuk kedalam kamar mandi.
Selang beberapa menit kemudian, Allisya keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sudah segar, tentu saja. Kakinya melangkah menuju tempat tidur.
"Mei, bangun. Udah siang."
Allisya menepuk pelan pipi Meisya membuat gadis kecil itu menggeliat pelan.
"Kenapa kak?"
Ia tersenyum, "Udah siang, bangun. Mandi gih, abis itu sarapan."
Meisy mengerjapkan matanya yang masih terasa berat. Rasanya ingin kembali tidur saja.
"Masih ngantuk, kak." Gadis kecil itu sedikit merengut membuat Allisya terkekeh.
"Salah siapa tidurnya kemalaman. Udah, sana mandi. Abis itu kita sarapan."
Allisya tersenyum kecil, melihat Meisya yang berjalan gontai menuju kamar mandi. Dengan wajah yang masih mengantuk tentu saja.
*Skip/
Setelah selesai sarapan, mereka kembali lagi ke kamar. Saat ini Meisya sedang fokus menonton kartun di laptop milik kakaknya itu, sedangkan Allisya fokus pada ponselnya.
Tok tok...
Pintu kamarnya diketuk, membuat Allisya harus meletakkan ponselnya dan beranjak untuk membuka pintu.
"Kenapa Bi?"
"Itu non, ada yang nyariin non didepan."
Alisnya bertaut, "Siapa?"
Bi Narti tampak menggaruk pelipisnya, tampak bingung, "I-itu.. non liat aja deh langsung kebawah. Bibi keluar dulu."
Kebingungan masih terlihat diwajahnya. Merasa sedikit aneh melihat gelagat Bi Narti tadi.
"Mei, tunggu disini bentar ya. Kakak mau ke bawah dulu." Setelah mengatakan itu, Allisya segera keluar kamar.
Langkah kakinya yang menapaki tangga perlahan memelan di ujung anak tangga, seraya menatap seseorang yang dimaksud Bi Narti tadi.
"Kenapa disini?" Tanyanya datar.
Laki-laki itu tersenyum tipis, "Lo tau kan gue gak akan nyerah gitu aja?"
Allisya menghela nafas. Ya, benar. Tentu saja dia tidak akan menyerah begitu saja. Karena Devan benar-benar keras kepala.
Gadis itu akhirnya memilih duduk disana.
"Apalagi sih, Devan? Gue udah bilang berkali-kali sama lo kalo gue udah capek. Lagian juga, lo pasti udah bahagia sama dia."
Bohong kalau Allisya mengaku biasa saja saat dia bilang bahagia sama dia.
"Itu yang mau gue lurusin."
"Gue rasa ga ada yang perlu--"
"Gue terpaksa!" Allisya terdiam ketika Devan langsung menyela ucapannya.
"Demi apapun, gue terpaksa ngelakuin itu semua. Gue pernah bilang kan sama lo kalo gue gak bener-bener ngelepasin lo?"
Allisya masih terdiam. Bibirnya seolah-olah menyuruhnya untuk bungkam.
"Asal lo tau, menjauh dari lo sama saja nyiksa diri. Bikin lo sedih sama aja bikin gue tertekan. Bahkan menyakiti lo, sama aja dengan menyakiti hati gue sendiri."
"Lalu, kenapa lo lakuin itu?" Allisya menatap Devan dengan tatapan tak terbaca.
Devan menghela nafas, "Salsa, dia ngancem gue. Dia bilang ke gue, kalo gue ga jauhin lo, dia bakal nyakitin lo."
Mata Allisya membulat tak percaya, "Apa?!"
Devan mengangguk kecil, "Awalnya gue pengen anggap remeh ancaman itu. Tapi akhirnya gue sadar, Salsa bukanlah orang yang bisa diremehkan gitu aja. Dia itu orangnya nekat, dia akan ngelakuin apapun agar keinginannya terpenuhi. Dan dia bisa aja buat lo celaka."
"Akhirnya, dengan sangat terpaksa gue turutin apa kemauan dia. Gue cuma gak mau lo luka, Sya. Itu aja. Walaupun pada akhirnya, gue sendiri yang bikin lo luka."
Devan menghela nafas berat, kemudian menggenggam tangan Allisya tanpa perlawanan darinya.
"Lo tau? Rasanya gue marah banget sama diri sendiri setelah bikin lo nangis. Gue udah janji ga akan bikin Lo sedih. Tapi apa? Gue malah bikin lo nangis."
Allisya masih diam. Berusaha mencerna ucapan-ucapan Devan barusan.
"Kalo Lo lakuin ini karena gak mau gue celaka, terus kenapa lo memilih buat kasih tau semuanya ke gue?"
Devan sudah menebak. Pertanyaan ini pasti akan muncul.
"Karena gue gak bisa gini terus. Ngeliat lo kayak gitu buat rasa bersalah gue semakin besar. Dan sekarang, gue udah janji sama diri sendiri. Bahwa gue sendiri yang akan lindungi lo dari Salsa."
Allisya menatap Devan lama. Menyelami manik yang tampak redup tersebut, mencoba mencari kebohongan disana.
Namun, dia tidak bisa menemukan satupun kebohongan yang terselip di manik itu. Yang terlihat hanyalah sebuah kesungguhan.
Apakah dia benar-benar serius?
Tapi, masih ada satu hal yang mengganjal di hatinya. Jika Devan memang benar-benar terpaksa, lalu kenapa dia berciuman dengan Salsa di taman belakang sekolah waktu itu?
"Tapi, di taman belakang sekolah tempo hari..."
Deg!
Devan mematung. Apakah benar jika Allisya sudah mengetahui itu?
"Gue liat itu Van.." Ucapnya lirih ketika mengingatnya.
Devan menggeleng, kembali menggenggam erat tangan Allisya lalu mengusap air mata yang mulai mengalir di pipi gadis kesayangannya itu.
"Nggak. Itu salah paham. Gue bahkan kaget saat itu. Waktu itu, gue mau pergi dari sana. Gue risih karena dia selalu ngikutin gue. Tapi pas gue berdiri, dia tiba-tiba narik tangan gue dan-- itu terjadi. Gue langsung dorong dia gitu aja. Gue bener-bener marah sama dia."
Allisya kembali menatap dalam manik biru itu, kembali mencari kebohongan disana. Namun lagi-lagi yang ditemukannya hanyalah sebuah kesungguhan.
Lantas, apakah Allisya bisa percaya itu?
Untuk kesekian kalinya, Devan kembali menghela nafas. Laki-laki melepaskan genggaman tangannya.
"Sekarang, gue ga bisa berharap banyak supaya lo bisa maafin gue. Gue ga bisa berharap banyak supaya lo bisa percaya lagi sama gue. Lo mau dengerin penjelasan gue aja, itu udah bikin gue seneng."
Allisya terdiam menatap raut yang terlihat sendu itu.
"Gue..."
"Gue maafin."
Devan tampak terkejut, menatap Allisya tak percaya.
"Lo maafin gue?"
Allisya tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Dan hal itu berhasil membuat Devan sangat senang. Gadis itu memaafkannya?
"Tapi kenapa? Gue udah sering bohong sama lo." Tanya Devan kemudian.
Senyuman tipis itu kini mengembang menjadi senyuman lebar, "Karena gue tau, lo serius dengan ucapan lo. Dengan catatan, Lo gak akan buat gue kecewa lagi."
Devan tidak bisa menahan senyumnya lagi. Laki-laki itu menatap Allisya lekat, kemudian kembali menggenggam erat tangan gadisnya.
"Ya, tentu. Gue gak sebut itu janji, sebab gue bakal buktiin."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Troublemaker [Completed]
Teen FictionCantik? Banget! Pintar? Pasti! Badgirl? Tentu saja! Kalimat itu cocok untuk mendeskripsikan sosok gadis bernama Auristella Allisya Lesham. Gadis ceria namun urakan yang selalu membuat masalah disekolanya. Ruang BK ada tempat favoritnya. Keliling la...