-BAGIAN TUJUH BELAS

568 57 6
                                    

Rasanya aneh, tidak ada rasa senang saat kamu mengucapkan kata itu. Kata yang dulu aku tunggu-tunggu.

****

"Lo masih sayang sama gue?"

Nevan bertelengkup seraya menengadah, menopang dagu dengan sebelah tangan. Entah mengapa pertanyaan Shira kala di perpustakaan membuat Nevan berpikir keras, untuk apa Shira bertanya seperti itu? Apa Shira masih menyayanginya? Lantas, kalau sayang, mengapa Shira memutuskannya?

Aneh, perasaan Nevan sudah tidak ada lagi untuk Shira. Entah mengapa ia biasa saja kala Shira bertanya seperti itu. Justru ia dengan cepat menjawab 'tidak'. Mungkinkah Shira menyesal telah memutuskannya?

Nevan mengulum senyumnya kala mengingat wajah Kinan, gadis itu tersenyum dengan sangat manis kala di perpustakaan. Sial! Mengapa ia jadi kepikiran Kinan?

"Woi!" seruan seseorang membuat Nevan mengubah posisinya menjadi duduk. Ia mendengus kala mendapati Navin berdiri di ambang pintu kamarnya.

"Ngapain si lo?" masih dengan raut tak suka Nevan berucap seraya melipat lengan di dada.

Navin memutar bola mata malas seraya berjalan mendekat, mendudukkan bokongnya tepat di samping Nevan.

Tangan Navin terulur seraya menyodorkan paper bag berwarna hitam, membuat kening Nevan mengernyit bingung.

"Apaan?" tanya Nevan seraya mengambil paper bag yang di berikan oleh Navin.

"Buka aja!"

Nevan berdecak kala sudah membuka paper bag tersebut. Ternyata isinya hanya sebuah Iphone keluaran terbaru.

"Cuma ini?"

Navin menoyor keras kepala Nevan, membuat sang empu mendesis sebal.

"Rese lo ah!" decak Nevan seraya membaringkan tubuhnya kembali.

"Bersyukur kek lo, udah di beliin hape baru sama Papi." Navin ikut membaringkan tubuhnya di samping Nevan.

Nevan menghembuskan napasnya, sebenarnya bisa saja ia membeli ponsel sendiri. Jadi, Alvis tidak perlu repot-repot membelikannya. Tapi, mau gimana lagi? Alvis memang seperti itu. Selalu memanjakan anak-anaknya. Oh iya, soal perkataan Nevan kalau ia tidak akan di belikan ponsel lagi. Itu tidak benar! Hanya akal-akalannya saja agar Kinan mau mengganti ponselnya. Ya, hitung-hitung mengerjai Kinan. Hehehe.

"Gimana sama si semok? Udah move on?" Navin terkekeh kala melihat raut wajah Nevan yang menandakan ketidak sukaan.

"Udah!" jawab Nevan seadanya.

"Wow!!!"

Nevan mencebik, mendudukan tubuhnya membelakangi Navin. Malas sekali rasanya melihat wajah menyebalkan Navin. Ingin rasanya ia menonjok Navin hingga menyisakan lebam.

"Udahlah sana pergi bang!" usir Nevan tanpa menoleh.

"Males ah, gue mau tidur disini."

Nevan memutar badannya cepat. Menatap Navin tajam. "Nggak! Gue nggak mau satu kasur sama abang bego kayak lo!"

"Dih songong, lo adek kurang ajar!"

"Bodo amat! Pokoknya, gue nggak mau tidur bareng elo!" lama-lama Nevan emosi karena Navin yang benar-benar mengesalkan. Mengapa juga ia harus mempunyai abang sialan seperti Navin?

"Terus gue harus peduli, gitu? Terserah gue dong mau tidur dimana juga," kekeh Navin seraya merebahkan tubuhnya, memeluk guling lalu memejamkan matanya.

"Abang sialan!!!"

🌈☀🌈

Seorang gadis tengah memutar-mutar ponselnya. Kinan, gadis itu sudah tidak mempunyai cara lagi untuk mengganti ponsel Nevan yang rusak akibatnya. Ia berniat ingin menjual ponselnya, meskipun harganya tidak seberapa. Yang penting bisa menambah uang untuk membeli ponsel baru.

Bisa saja Kinan meminjam uang kepada Luna, Putri ataupun Naya. Tapi ... tidak enak rasanya jika harus melibatkan orang lain. Biar bagaimana pun, ia harus bisa bertanggung jawab.

Semilir angin menerpa kulit halusnya. Saat ini Kinan sedang berada di kamarnya, lebih tepatnya bersandar pada jendela kamar. Rumah Kinan tidak sebesar rumah teman-temannya. Dimana ada balkon atau gazebo. Rumah Kinan hanya rumah sederhana yang nyaman. Rumah yang menyimpan kenangannya bersama Gibran sang kakak tersayang.

Sejak kecil Kinan memang tinggal bersama Gibran. Bukan berarti kedua orang tuanya tidak sayang, melainkan Kinan di tinggal pergi semenjak umur satu tahun oleh ibu dan ayahnya. Jadi, Gibranlah yang mengurus dan merawat Kinan. Tapi, semenjak Gibran pergi, mau tidak mau Kinan harus bisa hidup sendiri.

Ting!

Sebuah notifikasi yang menandakan adanya pesan masuk membuat Kinan terkesiap lalu menoleh. Ia mendengus seraya mengambil ponsel yang sejak tadi berada di sampingnya.

Kinan mencibir kala membaca room-chatnya. Ternyata dari Luna yang meminta jawaban PR fisika untuk besok.

Aluna.

Kinan ....
Besok gue nyontek PR fisika yawww:(
Gue nggak ngerti sama sekali nich:)

"Dasar bodoh!" Kinan bergumam sembari mengetikan balasan untuk Luna.

Males ah-_-
Kapan bisanya kalo nyontek terus?

Yah Kinan:(
Lo kan cabat terbaik gue.

Kinan bergidik, jijik. Mengapa Luna jadi lebay begini sih? Mungkin karena sudah malam jadi otaknya sedikit geser.

Iyaiya besok lo salin deh PR gue:)

Ah baiknya Kinan heheh:D
Jadi makin cayang deh wkwkw.

Kinan malas untuk membalasnya lagi, kalau terus menimpali yang ada Luna semakin menyebalkan.

Ia melemparkan ponselnya ke sembarang arah, melanjutkan merenung di bawah sinar rembulan. Jujur, rasanya Kinan ini bertemu ayah dan ibunya yang sudah lama pergi. Tapi, bagaimana? Kedua orang tuanya sudah tenang di alam sana. Kinan hanya bisa mendoakannya saja, ingin datang ke pemakaman ayah dan ibunya pun tidak mungkin, karena jauh. Berbeda dengan Gibran yang dekat.

Andai saja waktu bisa di putar kembali, Kinan hanya ingin merasakan kehangatan keluarga. Tapi, yang namanya takdir kan tidak bisa di ganggu gugat. Semua sudah rencana Tuhan.

Kinan berharap, suatu saat nanti ia akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang di rasakan seperti kebanyakan orang lainnya. Ini hanya soal waktu. Ya, semoga saja.

"Tuhan, semoga engkau selalu mendengar keluh kesah ku. Agar suatu saat engkau benar-benar memberikan kebahagiaan yang nyata untuk ku."


Jujur nih ya:( aku lebih suka komen di banding vote wkwkw😂

Tapi vote juga wajib lho temen-temen hehehe.
Eheh chapter kali ini pendek ya? Iya, sengaja kok, takut kalo panjang² bosen hehe.

See you ....

My Boyfriend Is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang