-BAGIAN ENAM PULUH

417 43 4
                                    

Pada akhirnya yang selama ini aku pertahankan harus mampu untukku iklaskan.

****

HAMPIR 1 setengah jam Nevan duduk di kursi taman yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Cowok dengan setelan jeans hitam yang di padu hoodie army itu tak henti-hentinya untuk tidak tersenyum. Bagaimana tidak, hampir setengah bulan ia tidak bertukar kabar dengan gadisnya. Lalu tiba-tiba Kinan mengajaknya bertemu. Bukankah itu sungguh kabar gembira? Nevan sangat merindukan perempuan itu, perempuan yang selalu membuatnya uring-uringan setiap detik.

Cowok itu celingak-celinguk menunggu kedatangan Kinan yang tak kunjung terlihat. Padahal Kinan mengirimkannya pesan siang tadi dan berjanji akan datang sore hari di taman dekat rumah Nevan. Namun hari sudah semakin sore dan Kinan belum juga tiba. Nevan menggeleng, mau berapa lama pun ia akan tetap menunggu karena Kinan tidak pernah berbohong.

Sebenarnya Nevan ingin sekali menghubungi Kinan, tetapi sialnya ponsel perempuan itu malah tidak aktif. Apa Kinan hanya mengerjainya saja?

"Kamu di mana sih, Nan." Nevan bermonolog seraya berdecak pelan.

"Sorry telat," cowok itu terperanjat, menoleh lalu tersenyum semringah ketika melihat kehadiran Kinan.

Di sisirnya rambut hitam legam menggunakan jari kemudian berujar. "Gapapa, Nan. Jangan gak enakan gitu, kita kan pacaran. Selama apapun kamu aku bakal tungguin," cengir Nevan.

Kinan terkekeh kikuk. Aneh, rasanya seperti orang asing yang bertemu. Atau mungkin sudah lama tidak berkomunikasi jadi begini. Canggung.

Ia duduk di sebelah Nevan, diam sebentar karena bingung harus mulai dari mana. Kinan sengaja mengajak Nevan bertemu karena ada hal yang mau di bicarakan pada cowok itu.

"Kamu kangen kan ngajak ketemu? Aduh, Nan. Harusnya aku yang samperin kamu. Bukan malah kamu," ujar Nevan senang bukan main.

"Van,"

"Iya sayang? Kamu mau apa? Jalan-jalan atau makan?"

Duh, mengapa jatung Kinan lemah sekali kalau sudah mendengar kata manis Nevan. Perempuan itu berdeham keras, berusaha bersikap biasa saja.

"Aku mau ngomong serius sama kamu," ujar Kinan.

"Apa?" tanya Nevan.

Kinan mengembuskan napas, menggigit bibir guna menghilangkan rasa gugupnya. "Aku ... mau kita selesai,"

Nevan mengangguk. "Iya, selesai marahannya kan? Kita udah gak saling diem-dieman lagi," ujar Nevan.

"Bukan," sanggah Kinan cepat. "Aku mau kita putus."

Degh!

Bagai di sambar petir tubuh Nevan tercengang. Terkejut bukan main dengan apa yang baru ia dengar barusan. Cowok itu menelan saliva susah payah, menggeleng kecil seraya menatap Kinan lurus.

"Na-n kamu—"

"Aku serius Van!"

Nevan seakan tidak bisa bernapas, bahunya melemas. Hatinya seperti di tusuk ribuan tombak. Perasaannya hancur, tidak menyangka bahwa Kinan memutuskannya.

"Kenapa?" tanya Nevan lirih.

"Aku minta maaf. Bukan aku gak sayang sama kamu. Aku sangat menyayangimu, Van. Demi Tuhan. Tapi ... aku juga gak bisa bertahan sama kamu, semuanya udah beda. Kalaupun di teruskan bakalan jadi hubungan yang gak sehat ke depannya."

Nevan menggeleng cepat. "Nggak, Nan. Semua bakalan baik-baik aja. Apa karena kesalahan aku sama bang Gibran? Iya, kan? Aku udah minta maaf, Nan. Harus dengan cara apalagi supaya aku bisa nebus dosaku? Hampir satu bulan aku nahan perasaan rindu ini sama kamu. Hampir satu bulan aku berusaha gak menghubungi kamu. Dan sekarang, kamu ngajak aku ketemu cuma buat mutusin aku? Setega itu kamu nyiksa aku, Nan."

My Boyfriend Is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang