-BAGIAN LIMA PULUH

508 38 14
                                    

Aku memang suka berbagi, tapi tidak dengan hati.

****

ENTAH bagaimana perempuan bersurai hitam yang terjuntai ke belakang itu kini tengah berada di tengah-tengah Kota Tua jakarta, bahkan ia tidak sadar kalau bus yang ia tumpangi tadi berhenti di kawasan ramai seperti ini.

Kinan berjalan mendekat ke arah gedung bercat putih, mendudukan bokongnya di barengi hembusan napas gusar. Tadi ia memang sengaja naik bus, perempuan itu tidak mempunyai tujuan karena pikirannya fokus pada Nevan. Cowok itu membuat Kinan tidak mengerti akan semua sikapnya belakang ini yang aneh. Apalagi siang tadi, saat ia menyaksikan pertandingan basket antar kelas Nevan bermain sangat kasar dan tidak benar, beberapa kali cowok itu mendapat teguran dari sang pelatih. Sebenarnya ada apa dengan cowok itu? Apa yang tengah Nevan sembunyikan darinya?

Semilir angin menerpa kulitnya yang halus, Kinan memeluk tubuhnya seraya mengusap-usap, malam ini terasa begitu dingin, seakan angin menusuk-nusuk kulitnya yang hanya terbalut kaus pendek.

Perempuan itu merunduk, mengayunkan kaki guna mengusir rasa bosan. Ah, ia merasa seperti orang bodoh berada di sini, duduk sendiri di tengah ramainya Kota Tua Jakarta.

"Kinan...," perempuan itu sontak mendongkak, menoleh pada suara yang baru saja masuk ke indra pendengarannya.

Seseorang itu kian berjalan mendekat dengan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Kening Kinan berkerut bingung ketika seseorang itu sudah berdiri di hadapannya.

"Aska?" cowok itu terkekeh pelan, di lepasnya kacamata hitam itu hingga menampilkan bulu mata lentiknya.

"Penglihatan gue bener berarti," ujarnya membuat Kinan menelengkan kepalanya.

"Maksudnya?"

"Tadi saat gue keluar dari kafe Batavia nggak sengaja lihat lo, awalnya gue pikir bukan elo, Nan. Tapi pas di lihat dari deket emang lo, udah hapal si sebenarnya. Rambut panjang yang di urai itu pasti elo," papar Aska, cowok itu turut mendudukan bokongnya di sebelah Kinan.

Kinan berdecak pelan. "Emang yang di urai gue doang ya? Banyak kali."

"Iya banyak, tapi yang cantik Kinan doang," Aska berkelakar membuat Kinan tertawa pelan.

"Bisa aja lo. Btw kok lo ada di sini, Ka? Tumben banget."

"Tumben ya? Ah gue emang sering ke sini, Nan. Ngopi di kafe Batavia asik. Banyak turis kadang," ujar Aska.

"Ngopi doang? Kan lo punya resto, Aska. Ih buang-buang duit aja," Aska tertawa melihat ekspresi Kinan yang menggemaskan. Perempuan itu terlihat lucu kalau cemberut.

"Nggak sampai jual tanah, Nan. Jadi nggak mahal."

Kinan memutar kedua bola mata malas, baginya, kalau sekadar nongkrong di tempat seperti ini mahal. Buang-buang uang, karena mencari uang itu susah. Benar 'kan?

"Lo sendiri ngapain malem-malem di sini? Tumben banget seorang Kinan keluar lumayan jauh, biasanya di resto kalo nggak diem di rumah."

Pertanyaan Aska membuat Kinan menghela napas berat, kalau bukan memikirkan Nevan tidak mungkin ia keluar rumah sejauh ini. Apalagi alasannya kalau cari angin. Ah klasik sekali.

"Gue bingung," jedanya, "belakangan ini sikap Nevan agak aneh, jujur aja ya, Ka. Gue kangen masa-masa kita saling ribut karena hal-hal sepele. Gue rasa Nevan lagi ada problem gitu,"

Aska mengangguk singkat, dalam hubungan pasti ada saja masalah. Entah itu rasa jenuh atau lainnya, tapi apa mungkin Nevan jenuh dengan Kinan? Rasanya mustahil, Kinan sangat menarik sekali. Tidak mungkin kalau cowok itu jenuh karena sikap Kinan.

My Boyfriend Is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang