Rasa ini semakin nyata, dan aku tidak suka kamu di dekatnya.
****
SESUAI kesepakatan yang sudah di buat, setelah Kinan pulang sekolah, Aska akan datang untuk bertamu. Dan, sekarang cowok dengan bulu mata lentik itu sudah duduk di samping Kinan.
"Sorry, Ka. Rumah gue sederhana," Aska geleng-geleng mendengar ucapan Kinan barusan. Perempuan yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu benar-benar tidak jelas. Untuk apa berbicara seperti itu padanya?
"Kenapa ngomong kayak gitu? Masalah banget emang sama rumah lo?"
Kinan menggaruk sebelah alisnya. "Nggak tau, sih. Takut lo gak nyaman aja. Lo kan dari kalangan berada."
"Gue nggak memandang status, materi atau apapun, Kinan. Yang penting gue nyaman deket, lo."
Cewek itu mendelik. "Eh?"
"Kenapa?" tanya Aska.
"Gapapa."
Aska tersenyum, menggeser bokongnya sekadar dekat dengan Kinan. "Coba balik badan, Nan,"
"Hah? Ngapain?" herannya.
"Mau ikat rambut panjang lo, nggak gerah emang?"
Kinan termangu, mengapa rasanya aneh begini? Aska itu orang baru, tetapi sudah merasa sangat dekat. Mungkin karena sifatnya yang friendly.
Ia mengangguk saja, membalik badan memunggungi cowok itu. Dengan cekatan, Aska benar-benar mengikat rambutnya yang terjuntai. Terlebih, cowok itu yang memberikan ikat rambutnya.
"Kok lo punya ikat rambut sih?" tangannya meraba rambut yang sudah di ikat rapi oleh Aska. Ia mengambil ponselnya sekadar berkaca, senyumnya mengembang melihat ikat rambut berbentuk pita berwarna biru yang sudah terikat di rambutnya.
"Tadi nggak sengaja lewat toko aksesoris, terus mata gue tertarik sama ikat rambut itu. Yaudah gue beli aja buat lo," papar Aska.
Kinan semakin mengulum senyum manisnya. "Makasih, ya."
"Cuma ikat rambut doang, Nan. Nggak usah lebay."
Kinan mencebik. "Bukan gitu, Ka. Prinsip gue, sekecil apapun pemberian orang, kata terimakasih itu wajib."
"Yaudah, jadi? Gimana?"
"Gimana apanya?" Kinan balik bertanya.
"Cerita kalo elo kerja."
"Ah ... masalah itu." Kinan terkekeh pelan.
"Cerita, Nan. Gue kepo nih," kekeh Aska.
Kinan memutar bola matanya malas, namun mau tidak mau ia harus cerita. "Gue kerja demi hidup gue, Ka. Lo kan tau gue nggak punya siapa-siapa setelah bang Gibran kecelakaan kala itu. Mau gak mau gue harus bisa kontrol pengeluaran," papar Kinan membuat Aska prihatin. Perempuan strong. Itulah pandangan Aska saat ini.
"Kerja di mana, Nan?" tanya Aska lagi. Entah mengapa ia penasaran dengan kehidupan perempuan cantik di hadapannya ini.
"Restoran, nggak terlalu jauh sih dari sini. Cuma satu jam, itupun kalo nggak macet."
"Restoran yang di pinggir jalan?" terkanya.
Kinan mengangguk.
"Yang tema restorannya, balck and withe? Di samping distro tepatnya?"
Cewek itu mengerutkan kening. Apa Aska sudah pernah datang ke sana sampai-sampai mengetahuinya?
"Kok lo tau? Emang udah sering ke sana ya?" tanya Kinan terheran.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boyfriend Is My Enemy
Teen FictionWAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!! (SELESAI DAN MASIH LENGKAP) Bagi Kinan, Nevan adalah musuh abadinya di muka bumi. Kinan membenci, Nevan pun membenci. Kinan merindukan Nevan pun ikut merindukan. Kinan menyinari dan Nevan mewarnai. Hari demi hari...