-BAGIAN TIGA PULUH SATU

572 48 5
                                    

Jika hidup dan suasana hatimu suram. Aku akan hadir mewarnai setiap ruang gelapmu.

****

MOTOR matic dengan warna putih biru itu berhenti di pinggir jalan, tepatnya di sebuah pemakaman kota jakarta. Kinan, gadis yang mengenakan hoodie hitam serta jeans itu turun seraya membawa setangkai mawar putih. Mumpung ini hari minggu ia berniat mengunjungi kakaknya yang sudah lama pergi.

Ia berjalan penuh semangat menghampiri makam Gibran, kakaknya yang sangat ia sayangi. Namun, langkahnya terhenti tatkala melihat seorang pria yang tengah berjongkok tepat di hadapan makam kakaknya.

Berbagai pertanyaan muncul di benak gadis berhoodie hitam itu. Siapa pria itu? Mungkinkah saudaranya? Ah tidak! Ia sama sekali tidak mempunyai sanak saudara di Jakarta. Lantas, siapa dia? Apa ia mengenalnya?

Sesaat Kinan menghembuskan napasnya lalu berjalan mendekat, memastikan siapa pria yang tengah berdo'a di makam kakaknya.

"Lo siapa?" pria itu terkesiap kala kehadiran Kinan, ia lantas berdiri seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. Bingung.

Kinan mendesah seraya meletakan setangkai mawar putih itu di atas makam Gibran. Mengusap batu nisan yang bertulisan 'Gibran Alferdi' Kinan tersenyum tipis, rasa rindunya membuncah karena sudah sangat lama tidak mendatangkan makam sang kakak. Bukan Kinan lupa, ia hanya sibuk karena bekerja. Alhamdulilahnya sekarang ia bisa berkunjung ke makam sang kakak yang telah lama pergi.

Pria yang berada di samping Kinan berdeham, "Lo kenal bang Gibran?" pertanyaan pria itu sontak membuat Kinan mendongkak, mengernyit bingung.

"Sangat kenal!" jawab Kinan. "Dan, elo? Siapa?" lanjut Kinan bertanya.

Pria itu tersenyum seraya mengulurkan tangannya. "Kenalin, gue Aska. Aska Arsatya." Kening Kinan semakin bergelombang, ia berdiri seraya bersedekap.

"Gue nggak kenal lo! Dan ada hubungan apa dateng ke makam bang Gibran?" tanya Kinan angkuh.

Aska menilik Kinan lekat, lalu tersenyum hangat. "Ayo kita cari tempat duduk, kalo lo mau tau cerita gue." Kinan mengangguk seraya mengikuti Aska yang berjalan menuju pos penjaga makam.

Setelah keduanya duduk, Aska mulai bercerita.

"Gue nggak ada hubungan apapun sama bang Gibran. Gue cuma orang yang beruntung karena di tolong sama bang Gibran kala itu." Kinan menoleh cepat, keningnya semakin berkerut.

"Di tolong?" heran Kinan.

Cowok berkaus putih yang di balut jaket denim itu mengangguk. "Iya." Jeda aska. "Dulu, pas gue kelas satu SMP gue stres. Karena orang tua gue cerai. Mama pergi sama selingkuhannya, Papa juga sering ngelamun semenjak Mama pergi. Gue bener-bener depresi, gue putus asa. Sampai akhirnya gue berniat mau bunuh diri, saat itu, ada bang Gibran yang tiba-tiba dateng. Dia mencegah gue pas mau lompat ke jurang. Gue di nasihatin sama bang Gibran. Katanya kalo masalah itu di selesain, bukan malah tambah masalah." Aska mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan.

"Dari situ, gue berteman baik sama bang Gibran. Meski umur gue sama dia nggak sebanding, tapi gue merasa nyaman di deket bang Gibran. Bang Gibran juga udah gue anggap kakak gue sendiri. Karena dia sangat baik. Gue selalu curhat ke dia kalo ada masalah. Karena bang Gibran juga, sekarang Papa kembali baik lagi. Sampai pas gue kelas tiga SMP, gue harus ikut Papa pergi ke Yogyakarta. Dan SMA di sana selama 2 tahun. setalah gue kembali, gue dapet kabar dari temen kuliahnya kalo bang Gibran udah nggak ada. Gue terpukul! Gue merasa kehilangan, sampai akhirnya gue ketemu sama makam bang Gibran. Dan benar, bang Gibran udah pergi." Sampai saat inipun Aska benar-benar merasa kehilangan sosok penguatnya kala terpuruk dulu.

My Boyfriend Is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang