Pikiran Negatif

210 40 18
                                    

Keysa berdiri di depan rumah yang sudah lama tak ia kunjungi. Sebuah tangan dengan lembut menarik tangannya untuk memasuki rumah itu. Menghela napas, Keysa melangkahkan kaki dengan kepala yang tertunduk.

"Keysa mau makan dulu?"

Keysa menggelengkan kepalanya. Tangannya yang lain mengusap matanya dengan bahu yang bergetar.

"Key—"

Panggilan itu terpotong oleh isakan yang seketika terdengar. Keysa bertumpu pada lutut dengan kepala yang terus tertunduk. Bahunya kian naik turun, isakannya kian terdengar semakin keras.

"Sayang, kenapa kamu nangis?"

Pelukan itu semakin membuat Keysa menangis. Bahkan suara lembut yang selalu menenangkannya tak mampu meredakan tangisnya.

"Mom-my," lirih Keysa terisak. "Maaf."

Ny. Febby menggeleng. Wanita itu memberikan usapan pada bahu Keysa yang tak kunjung berhenti menangis.

"Maaf karena Keysa, Kayvi harus pergi. Maaf karena Mama Keysa, Papa gak pernah ada buat Kayvi dan mommy—"

"Keysa tidak perlu meminta maaf."

"Maaf, Mommy. Ini semua karena Keysa. Kak Albi pergi karena Keysa, Kayvi juga pergi karena Keysa, seharusnya Keysa gak pernah ada di dunia—"

"Sttts." Ny. Febby menghentikan ucapan itu. Kian mendekat pada tubuh yang bergetar terisak. "Keysa gak boleh ngomong gitu, Sayang."

"Mommy, Keysa jahat. Keysa gak berguna—"

Ny. Febby menggeleng, menahan tangan Keysa yang terus memukul kepala sendiri. "Keysa berharga, Sayang. Keysa berharga buat Mommy, buat Kayvi, buat Kak Albi. Ini bukan salah kamu."

"Kalau Keysa gak lahir—"

"Nggak Sayang—"

"Kak Albi dan Kayvi pasti udah bahagia. Mereka gak perlu korbanin diri mereka sendiri buat Keysa."

Ny. Febby hanya bisa memeluk dan memberikan tepukan penenang. Ikut menangis, tetapi sebisa mungkin untuk berusaha tenang.

"Keysa gak seharusnya ada, Mommy. Keysa gak seharusnya lahir ke dunia ini," isak Keysa terus meraung.

Ny. Febby menangkup wajah menangis itu. Berusaha tersenyum walau air mata juga membasahi pipinya. Ia mengusap air mata yang membanjiri pipi chubby milik Keysa. "Udah ya, Keysa gak salah."

"Mommy ...."

Mendengar suara bergetar itu memanggil lirih, Ny. Febby mengangguk dan kian tersenyum. "Jangan nangis lagi, mommy ikut sedih kalau Keysa nangis."

Keysa berusaha menghentikan tangis. Usapan lembut pada pipinya membuatnya kian merasa bersalah dan kembali terisak tanpa suara.

Ny. Febby terus memberikan usapan, menyakinkan gadis yang ia peluk itu tidak bersalah. Menyakinkan jika setiap hidup seseorang adalah berharga.

***

Keysa mendudukkan diri di atas lantai. Kamar yang ia tempati hanya diterangi oleh lampu tidur. Tidak terlalu cerah, tetapi cukup untuk melihat sekitar. Matanya menatap foto yang tergantung di dinding.

Fam(ily)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang