Sebuah Batas

225 44 13
                                    

Drrrtd Drrrtd Drrrtd.

Keysa mengerang malas mendengar suara ponsel yang berbunyi. Bukannya menjawab, ia menarik selimut semakin tinggi menutupi tubuhnya.

Drrrtd Drrrtd Drrrtd.

Kembali mengerang, Keysa terpaksa membuka mata untuk mencari ponsel itu. Dengan kesal ia mengambil ponsel yang berada di atas nakas dan kembali berbaring. Ia mengangkat panggilan itu tanpa melihat sang penelpon karena sudah memejamkan mata lagi.

"Halo, Key? Kamu di mana ini, kok gelap?"

Keysa praktis membuka matanya mendengar suara itu. Ia membuka mata, dengan cepat memeriksa siapa yang menelepon. Wajah dari laki-laki yang begitu ia rindukan terlihat jelas dengan cengiran kuda. "KAK ALBI!!" serunya berteriak.

"KEYSA!" seru dari seberang meniru reaksi.

Tok, tok, tok.

"Non Keysa kenapa berteriak, Non?"

Keysa mengucek matanya dengan kasar, memastikan apa yang ia lihat di layar adalah benar.

"Jangan di kucek gitu nanti matanya jadi merah. Ini beneran kakak, Key."

"Non Keysa gapapa kah? Bibi buka pintunya ya."

Keysa hanya mengerjap melihat layar ponselnya hingga tak sadar Bibi sudah masuk dan berdiri di sampingnya.

"Astaga, Non Keysa bikin bibi khawatir aja. Kirain kenapa, ternyata lagi telponan sama Den Albi."

"Hy bibi, apa kabar?"

Bibi mengangguk dan melambaikan tangannya pula. "Saya teh good, Den Albi. Kalau Den Albi gimana? Good juga kan?"

"Good dong, Bi."

Bibi terlihat menganggukkan kepalanya lalu melirik Keysa yang masih cengo. "Gak paham lagi sama Non Keysa atuh. Bibi permisi dulu ya, Den. Masih ada cucian soalnya."

"Keysa kenapa hey? Kerasukan apa gimana nih bocah?!" tanya dari seberang dengan khawatir.

"Kak Albi," lirih Keysa seketika menekuk bibir dengan mata yang berkaca-kaca.

"Iya, Key? Kenapa dek?"

Keysa menutup matanya dengan lengan. Isakannya mulai terdengar dan bahunya naik turun.

"Keysa kok nangis, huh? Jangan nangis dong," pinta dari seberang dengan suara bergetar pula.

"Keysa kangen," ucap Keysa sesegukan. "Mau ketemu! Mau peluk kakak! Mau tinggal bareng kakak lagi," adunya semakin meraung.

Di seberang, Albi sebisa mungkin untuk menahan air matanya. Ia mengusap kepala Keysa dari layar dengan senyum lebar. "Nanti ya, kakak pasti pulang, kok, Key."

Keysa akhirnya menatap layar ponsel dengan wajah menangis. "Kapan?"

"Nanti."

Keysa memayunkan bibir mendengar jawaban dari seberang. Ia akhirnya mengangguk dan menghapus air matanya. "Kakak di mana sekarang?"

"Singapura."

"Sama keluarga papa?" tanya Keysa cemberut dan hanya sebuah anggukan yang diberikan.

Menundukkan kepalanya, Keysa memukul-mukul kasur dengan bibir yang kian tertekuk.

"Kenapa lagi? Gak seneng kakak telpon?"

"Kangen," lirih Keysa hampir menangis lagi. Ia dengan kasar segera mengusap air matanya. "Kangen ... papa."

Helaan napas dari seberang terdengar begitu berat.

Fam(ily)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang