Bulan pilihan itu bukan memilih yang bulan mau. Tapi memilih apa yang lebih membutuhkan.
• • •
Kata canggung tercipta jelas diruangan yang tak terlalu luas. Atmosfer tiba-tiba terasa panas. Padahal diluar terlihat mendung. Pasokan oksigen perlahan menghilang. Padahal pintu terbuka luas.
"Obatin gue dulu." Terkesan memaksa.
"Dia kesini karena gue, jadinya dia harus obatin gue dulu." Tak mau kalah.
"Luka gue lebih parah."
"Itu lo yang lemah."
"Davino." Desisnya tajam.
"Apa?" Cowok itu balas menantang.
"Dia—" Cowok itu menunjuk cewek yang sedari tadi diam dengan handuk kecil yang ada di tangannya. "Harus obatin gue dulu." Lanjutnya.
"Gue gak akan maksa. Sekarang biar dia sendiri yang memilih." Dia masih memiliki otak jernih. Membuat cewek yang sedari tadi dilanda kebimbangan akhirnya bisa menghela nafas lega.
"Oke. Bulan lo mau obatin siapa? Gue atau dia." Cowok itu masih melempar tatapan tajam pada cowok yang menatapnya datar.
"Gue gak bisa memilih, karena kalian bukan sebuah pilihan." Bulan tersenyum kecil, memilih jawaban paling aman.
"Tapi Bulan harus memilih, anggap aja sebagai pemanasan. Jikalau nanti Bulan mengalami situasi yang sama." Cowok itu terlihat ikut melempar senyum.
"Tapi—"
"Pilih aja Bumi atau Draka. Ini bukan pilihan yang sulit bukan?" Tekan Bumi penuh penekanan.
Bulan terdiam, menatap wajah Bumi lekat. Disana terdapat lebam disudut mata, mulut, dan rahangnya. Bulan kemudian beralih menatap Draka. Disana terdapat luka yang sama tapi ditambah dengan darah yang sedikit menetes dari hidungnya. Dan itu karena ulahnya. Bulan menghela nafas berat. Bumi benar ini bukan pilihan yang sulit. Tapi kenapa terasa berat untuk memilih?
"Gue milih—" Jeda sejenak, Bulan memejamkan matanya. "Draka."
Draka tersenyum puas, "good."
Bumi menyeringai, "pilihan yang tepat."
"Tapi—" Ragu Bulan.
"Tapi apa?"
"Tapi gue juga gak bisa biarin luka Bumi terlalu lama. Jadi gue milih obatin kalian berdua secara bersamaan." Putus Bulan sepihak.
"Bulan gak akan bisa. Bumi bisa obatin luka Bumi sendiri." Tolak Bumi.
Bulan menggeleng cepat, "gak! Bulan bisa. Pasti."
"Handuknya cuma satu." Bulan melihat handuk kecil yang ada di tangannya. Benar dia hanya mendapatkan satu handuk.
Tapi tak masalah, Bulan menuju meja kecil yang ada di UKS. Menggeledahnya lalu tersenyum lega menemukan gunting disana. Tanpa ragu Bulan memotongnya menjadi dua.
"Bulan terlalu memaksa." Bulan sejenak menghentikan aktivitasnya memotong handuk saat mendengar ucapan Bumi.
"Gapapa, Bulan hanya mencoba menjadi yang terbaik." Bulan tersenyum, mengeclupkan handuk yang sudah terpotong menjadi dua kebaskom air es secara bersamaan. Lalu memerasnya berbarengan, baru bulan memisah handuk itu untuk ia letakan ditangan kanan dan kirinya.
Lalu Bulan mendekati Bumi dan Draka, menggerakkan kedua tangannya bersamaan mengobati luka Bumi dan Draka.
"Bulan yakin ini yang terbaik?" Bulan menatap Bumi lekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR
Teen FictionPantesan susah buat dapetin hati bumi. Orang bumi aja gak punya hati! • • • • Bulan cantik? Jelas. Bulan manis? Jangan di tanya lagi permen aja insecure lihat dia. Bulan pinter? Pasti, buku aja minder kalo di baca sama dia. Terus ada gak kekurangan...