42. RUANG TANPA SUARA

1K 143 10
                                    

Selamat membaca...

Jangan sider yah luv. Vote dan komen juga hehe ❤

42. RUANG TANPA SUARA

Ruang tanpa suara mungkin pilihan tepat untuk menghindar dari polusi suara yang menyakitkan hati. Tapi sayangnya, di ruang tanpa suara yang terdengar justru suara sendiri. Yang mana, tubuh dan pikiran bahkan hati terlanjur menjadi musuh terbesar.

"Ra!! Gue cariin juga." Nayla bernafas legah ketika matanya menemukan sosok yang sejak tadi dia cari.

Mata Nayla langsung membelalak melihat Clara yang sudah banjir airmata.

"Lo kenapa, Ra? Cerita sama gue," panik Nayla, tapi tidak ada jawaban dari seberang sana.

Nayla menepuk pelan bahu Clara yang terturun lemah dan bergetar. Detik setelahnya tangisan Clara malah makin pecah. Seolah lukanya yang masih terbuka jelas telah mendapatkan sentuhan kecil, yang langsung memberikan sengatan menyakitkan.

Nayla beralih mendekap tubuh Clara yang masih terus terisak. Menunggu sampai sahabatnya bisa tenang.

Beberapa saat kemudian Clara menarik tubuhnya keluar dari pelukan Nayla. Tangisnya pun sudah meredah.

"Nayla kenapa bisa di sini?" tanya Clara menyadari Nayla yang masih dengan seragam olahraganya, "Pak Kurniawan cariin Clara?"

"Kelas udah bubar kok, Ra, kan udah jam istirahat. Tadi gue bilang ke Pakur kalo lo lagi sakit perut," jelas Nayla.

Clara mengangguk mengerti. "Makasih, Nay."

Untung saja Nayla salah satu murid paling pintar di antara para murid pintar lainnya di kelas Binsus, wakil ketua kelas pula. Jadi Pak Kurniawan percaya-percaya saja.

"Tadi Billi nyamperin gue dan bilang kalo lo lagi di sini. Dia minta gue temenin lo," ujar Nayla.

Wajah Clara tiba-tiba kembali murung, Clara mengembuskan napasnya berat. Teringat dengan sikapnya tadi, ada rasa bersalah dalam dirinya namun juga Clara tidak bisa menampik ada rasa kecewa ikut terselip.

"Kalian berantem? Billi tadi kelihatan khawatir banget lo, dia bahkan nyamperin gue di kantin, padahal gue lihat dia rada kesakitan gitu. Abis lari-larian kali yah?"

Clara ikut sakit mendengarnya, tapi Clara masih juga bungkam.

"Ra, lo pernah bilang kalo gue gak harus simpan rasa sakit gue sendirian," ucap Nayla saat Clara masih saja terus diam dengan mata berairnya. "Itu berlaku juga buat lo. Gue bukan cuma punya lo sebagai sahabat tapi lo juga punya gue, Thalia juga."

Mata Clara yang sudah sempat mengering, kini kembali basah. "Clara sakit Nay, lihat Billi berduaan sama Sabrina di kelas. Clara juga kecewa saat Billi kayak gak mau akuin kalo Clara pacaran sama Billi." Clara perlu menarik oksigen sebanyak mungkin untuk melanjutkan kalimatnya.

"Tapi di sisi lain Clara ... Clara juga ngerasa gak pantes aja buat Billi," ungkapnya disusul tetesan airmata di setiap kata yang terucap. "Orang-orang terus gosipin Clara, Clara dekat sama cowok dikit aja digosipin. Bukan cuma digosipin, tapi orang-orang hujat Clara. Clara jadi mikir, segitu gak pantasnya kah Clara untuk orang lain? Rasanya untuk berteman sama orang lain Clara juga salah."

Clara ingin lari dari semua suara orang yang tidak henti menghujatnya. Tapi Clara tertampar pada kenyataan bahwa dirinya sendiri terlanjur menjadi musuh, musuh yang sama jahatnya.

Tangisan tanpa suara yang sedari tadi coba Clara pertahankan pun pecah, Clara semakin sensitif saat menceritakan kegundahan hatinya kepada Nayla. Hal yang selalu dia tahan, berusaha sembunyi di balik topeng ceria yang terlukis jelas di wajahnya.

BECOME BEAUTY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang