7. Hari Berkabung

16.7K 1.4K 18
                                    

Di wajah Malvin bertengger kacamata hitam yang menutupi matanya yang memerah menahan tangis. Hatinya bersedih. Salah satu orang tersayang dalam hidupnya telah berpulang ke rahmatullah. Sanak saudara serta kerabat berdatangan melayat ke tempat peristirahatan terakhir almarhumah Oma, ibu dari Mami.

Melihat bagaimana Mami yang menangis tanpa hentinya membuatnya berpaling, enggan menatap Mami yang dikuatkan Papi.

Saat memalingkan wajah, ia bertemu pandang dengan Richel yang juga hadir di tempat tersebut. Mereka sama-sama mengenakan kacamata hitam, jadi ia tak tau ekspresi apa yang ditampilkan Richel.

Kedua sudut bibir Richel terangkat sedikit, pertanda wanita tersebut tersenyum tipis padanya. Hendak membalasnya dengan anggukan kecil, tapi penglihatannya tiba-tiba terhalangi oleh salah satu adik sepupunya yang berdiri di sampingnya.

"Masih inget pulang?" Pertanyaan sinis mengudara. Bukan berasal dari Malvin, tapi dari Arkana yang berdiri di sisi kanannya. Malvin menoleh menatap Arkana yang tanpa ekspresi menatap adik sepupunya yang baru menampakkan diri.

"Jangan mentang-mentang kamu lebih, makanya nindas yang paling muda," balas Gibran tak kalah sinis. Lalu kembali menghadap ke depan melihat gundukan tanah milik almarhumah Oma. Jari telunjuknya terulur untuk memperbaiki letak kacamatanya.

"Jangan bikin Oma makin sedih karena kalian," sahut Malvin di tengah-tengah perseteruan kakak adik tersebut.

Setelah proses pemakaman serta doa bersama. Semuanya kembali ke rumah duka.

Para sahabat Malvin juga pamit untuk pulang dan tak lupa mengucap bela sungkawa.

Masih berada di rumah duka, Malvin memilih menyendiri di halaman belakang. Tepatnya di gazebo yang berada di dekat taman bunga Oma. Malvin menatap lurus ke depan. Hingga ia terbuyar saat seseorang duduk di sebelahnya.

"Diminum, Vin," ujar Richel dengan suaranya yang begitu lembut, menawarkan secangkir teh hangat pada Malvin. Wanita kalem dengan senyum tipisnya menatap Malvin yang sama sekali tak berekspresi dan ia sudah biasa dengan itu.

Malvin hanya berdehem, lalu kembali menatap lurus ke depan. Diikuti Richel.

Sunyi senyap terjadi di antara mereka, hanya samar-samar suara yang berasal dari dalam rumah. Tempat keluarga mereka berkumpul.

"Ah aku hampir lupa," gumam Richel membuat Malvin sontak menatapnya. Richel menunduk ke arah lehernya. Mencoba membuka tautan kalungnya.

Melihat Richel kesusahan membuat Malvin menginterupsinya.

"Aku bantuin." Richel tersentak, ia menegakkan kepala menatap Malvin yang masih mempertahankan ekspresi datar.

Richel pun memutar tubuhnya membelakangi Malvin. Kemudian Malvin melepaskan tautan kalung Richel dan kembali Richel menghadap ke arahnya.

"Buat kamu dari Oma," ujar Richel seraya mengulurkan cincin yang tadi dijadikan bandul kalungnya.

Malvin menatap datar cincin yang di tengahnya terdapat mutiara kecil. Itu adalah cincin Oma semasa muda. Cincin pemberian Opa. Oma seringkali menceritakan sejarah cincin tersebut hingga membuatnya hafal seluruh ceritanya.

"Kata Oma, kamu kasih ke orang yang kamu say..."

"Buat kamu aja." Malvin menyela Richel, kemudian melenggang pergi meninggalkan Richel yang terpekur menatap cincin tersebut.

Malvin berhenti di ambang pintu masuk ke rumah, menengok sejenak menatap Richel yang masih senantiasa menunduk menatap cincin tersebut.

"Kamu ngapain, Bang?" Malvin kembali menatap ke depan. Menatap Gibran yang berdiri menjulang di hadapannya.

Love Makes CrazyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang