Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Jadilahkamu, sesuaiversiterbaikmu, bukanversi orang lain yang kamupaksakan agar mendapatpujianseperti yang lain."
Langit tampaknya murung, menggiring awan hitam menjadi gumpalan yang akhirnya meloloskan butirannya. Senja enggan hadir sore itu. Kanaya berdiri menatap langit dari jendelanya. Netranya sendu, tak sesuai dengan motif bulan yang tersenyum pada piyama biru mudanya.
Tatapannya terusik, pada seseorang di depan gerbangnya. Ia bisa melihat dari jendela kamar yang terletak di lantai dua. Meskipun hanya sebuah siluet yang tenggelam oleh deras hujan, tapi Kanaya bisa tahu dari motor ninja merah itu.
Catur.
Segera Kanaya berlari menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Ia membuka pintu dan terkesiap menghampiri Catur, namun urung karena cowok itu sudah berlari menghampiri dengan keadaan basah kuyup.
Catur tercenung, begitupun Kanaya. Sejurus kemudian Kanaya menunduk menghindari tatapan Catur. Kedua tangannya melilit ujung piyamanya. Dapat Catur lihat, jemari mungil itu bergetar saling bertubrukan berusaha menggenggam namun Kanaya enggan mengatupkan kedua tangannya.
Catur bergeming, dengan langkah pelan ia mendekati gadisnya. Tangannya meraih pergelangan Kanaya. Meredakan rasa gelisah Kanaya. Sengatan dari tangannya membuat Kanaya berani mengangkat kepalanya.
"Nay," panggilnya dengan suara serak.
"Kenapa hujan-hujanan? Kamu nggak bawa jas hujan?" Catur menggeleng.
"Tadi nggak sempat berhenti karena udah terlanjur deras banget hujannya."
Keduanya saling memupuk pandang, dua pasang netra itu sama-sama memburam. Bercak merah pada mata Kanaya tanda ia menangis seharian. Bercak merah pada mata Catur karena terpaan air hujan. Dada Kanaya bergemuruh, kakinya maju selangkah demi langkah hingga jarak keduanya terkikis. Segera, Kanaya menubruk tubuh Catur dengan raungan yang kembali menggema.
"Maafin aku, kamu jangan marah ya." Kanaya menggenggam ujung kemeja putih Catur. Cowok itu senantiasa mengusap punggung Kanaya memberi ketenangan.
"Sttt... Kamu minta maaf untuk apa?" sahut Catur lembut. "Baju kamu nanti ikutan basah, Nay."
Kanaya mendongak disertai sesenggukan kecil, "ja-ngan.. Marah, bukan aku kok yang minta di-"
Catur menghentikan ucapan Kanaya, membungkam dengan jari telunjuk yang ia tempelkan pada bibir ranum itu.
"Jangan di ingat lagi kalau itu buat kamu sedih, Nay. Anggap aja kamu nggak pernah mengalami hal semacam itu. Aku nggak marah sama kamu, justru aku yang merasa bersalah udah lalai jagain kamu."
"Ini juga kecerobohan aku, Catur."
Catur tersenyum, mengusap pipi yang banjir air mata. Kedua telapak tangannya tertahan di sana. Mengusap wajah Kanaya dengan usapan lembut.