“Kanaya memang lugu, sering bergerutu minta ini itu, bikin otakku buntu, tapi memang adanya seperti itu.” —
Kanaya merebahkan tubuh letihnya, kedua netranya mengerjap-erjap dengan napas yang sedikit tidak teratur, dan seragam yang masih membalut tubuh mungilnya, Kanaya membuka ponselnya. Memastikan Catur sudah sampai rumah atau belum, padahal seharusnya Kanaya tahu jarak rumahnya dengan rumah Catur tidaklah dekat. Tapi begitulah Kanaya, posesif.
“Nay, kamu baru pulang?” tanya Felisa di ambang pintu meneteng keranjang pakaian kotor.
“Iya, Ma. Tadi Naya habis main ke rumah Catur.”
Felisa mendekat, memungut pakaian Kanaya di sisi pintu kamar mandi. “Lain kali kalau mau main pulang dulu ya, terus jangan pergi main selain sama Catur.”
Kanaya bangkit dengan rambut kusut, wajahnya lesu. “Iya mama... Naya mandi ya.”
“Gih mandi, nanti seragamnya masukin keranjang ya, jangan di sebar sembarangan, jangan lupa tutup tirainya, udah sore.”
“Mama aja deh yang tutup,” ujarnya sembari berjalan lunglai menuju kamar mandi.
“Kamu udah gede, Kanaya. Jangan apa-apa harus mama yang kerjain, ini kamar kamu.”
“Iya-iya, nanti Naya tutup,” sungutnya kesal. “Kalo nggak lupa.” Pungkasnya sebelum ia masuk dan menutup pintu kamar mandinya.
“Mama suruh Catur nyari pacar yang lebih dewasa dan nggak manja kayak kamu ya!” seru Felisa menahan emosinya.
“MAMA IH! IYA NANTI KANAYA TUTUP KOK! JANJI NGGAK BAKALAN LUPA!” sahut Kanaya berteriak di dalam sana.
Felisa mengehela napasnya, menggeleng heran pada Kanaya, anak semata wayang yang sudah terbiasa dimanjakan dan akhirnya jadilah Kanaya Fradilla gadis manjanya naudzubillah.
***
Catur baru saja selesai mandi, terlihat handuk yang melilit menutup setengah tubuhnya. Rambutnya menitikkan tetes demi tetes air. Catur membuka lemari dan memilih kaos santai. Pergerakan memakai kaos itu terhenti saat seorang cowok jangkung masuk dengan langkah gontai. Bibirnya menampilkan senyum dengan kedua mata terpejam.
Segera ia menyelesaikan aktivitas memakai baju dan celana boxer. Catur mendesis kesal menyaksikan tubuh itu kini terbaring di ranjangnya dengan sepatu yang masih terpakai, seragam putih abu-abunya acak-acakan.
“Ngapain lo ke kamar gue? Keluar lo,” ujar Catur sinis.
Sosok itu menggeliat, bibirnya setia menampilkan senyum. Perlahan kedua netranya terbuka. Jari telunjuknya bergerak-gerak menunjuk Catur.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA, CATURKU [ON GOING]
Teen Fiction[CERITA INI MENGANDUNG UNSUR SEX EDUCATION] #2 - fiksiremaja [6/9/2021] #1 - catur [15/9/2021] #1- sexeducation [15/9/2021] #1 - bullying [20/11/2021] #2 - comeonrbc [15/9/2021] #3 - comeonrbc [16/9/2021] #1 - comeonrbc [18/9/2021] #7 - masasma [15...