❄
Abadi berangkat ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Hal ini dilakukan karena ia akan pergi ke markas Geng Axelent terlebih dahulu untuk mengembalikan barang hasil judinya. Baik itu berupa uang maupun benda.
Sudah cukup sekarang. Ia ingin berhijrah ke jalan yang benar. Ia sudah tidak ingin berurusan dengan dunia malam lagi. Ia harus kembali pada dunia yang cerah, dunia yang jauh dari hingar bingar pengaruh buruk baginya.
Di markas Geng Axelent ia dicaci dan dibantai habis-habisan. Ia dikatakan pengecut lah, banci lah, itu karena ia akan keluar dari Geng Axelent. Apalagi ditambah dengan peristiwa semalam yang membuat keadaan Abadi semakin terpojok. Luka memar membekas di bagian wajahnya dan beberapa bagian di tubuhnya.
Di sekolah ia melihat Kiara. Gadis berhijab dengan kulit putih itu tampak menunggu seseorang sambil membawa sebuah kantong plastik cukup besar.
Abadi hendak berbalik arah, ia tidak ingin bertemu dengan Kiara untuk sesaat. Ia tidak ingin Kiara melihatnya dengan keadaan memprihatinkan seperti ini. Apalagi sekarang ditambah rasa sakit di dada kirinya, itu pasti dapat menimbulkan pucat di bagian wajahnya. Tidak, Abadi tidak ingin Kiara melihatnya yang sedang sakit.
Baru saja Abadi akan berbalik, suara teriakan nyaring menghentikan gerakannya.
"ABADI!"
Abadi menghela nafas pasrah.
"Bad ini barang-barang yang gue beliin kemarin. Eh-BAD! WAJAH LO KENAPA? INI JUGA LENGAN SAMA TANGAN LO? LO BERANTEM LAGI?!" pekik Kiara, hampir menjadikannya sebagai pusat perhatian di depan sekolah.
"Sssst!" Abadi meletakkan telunjuknya di depan bibirnya memberi isyarat agar gadis berhijab itu diam. Segera ia menarik tangan Kiara menjauh dari banyak orang.
"Jelasin ke gue. Se-ka-rang!" sentak Kiara.
Abadi menggigit bibir bawahnya kuat, rasa sakit di dadanya seperti tidak bisa ditahan lagi. Padahal setelah pergi dari markas Geng Axelent ia sudah menelan pil pahit itu.
Raut wajah Kiara yang tampak marah berubah seketika menjadi khawatir. "Bad? Lo nggak papa kan? Lo pucet, Bad. Kita ke UKS ya. Luka memar di wajah sama tangan lo juga perlu obat merah."
"Ah? Ng...nggak usah. Gue nggak pa...pa. Gue... ke toilet dulu, Ra." Tanpa menunggu persetujuan dari Kiara, Abadi segera pergi begitu saja. Meski lututnya terasa sangat lemas untuk berlari menjauh, tapi ia tetap berusaha menyeimbangkan tubuhnya agar tidak terjatuh. Ia harus sampai ke toilet dengan cepat. Ia takut kalau Kiara semakin curiga dan tahu akan keadaan Abadi sekarang.
❄
Kiara kembali ke kelasnya dengan perasaan kalut, sikap Abadi sangat aneh. Biasanya ia akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sekarang, seperti ada yang disembunyikan oleh lelaki itu.
Tanpa sengaja, tatapannya bertemu dengan tatapan Desya. Ah, tatapan Desya sebenarnya sama seperti dulu, meneduhkan. Tapi kenyataan berkata lain, Desya yang sekarang bukanlah Desya yang dulu. Tatapan meneduhkan itu bisa saja berubah menjadi tatapan penuh dendam.
Kiara mengalihkan tatapannya, ia menatap bangku kosong di sampingnya. Bangku yang ditinggalkan oleh pemiliknya ke Sumedang. Kelas terasa sangat sepi tanpa kehadifan sahabafnya itu. Ya, sahabat barunya.
Kiara kembali menatap sahabatnya, Desya. Ia hanya dapat melihat punggung gadis dengan rambut sebahu panjangnya yang terurai lurus itu. Ah, Kiara merindukannya. Ia rindu Desya yang dulu. Desya yang selalu ada di sampingnya, Desya yang selalu tertawa bersamanya, Desya yang selalu menceritakan hal konyol di sela-sela obrolannya, Kiara merindukan itu semua. Kiara menarik nafas panjang, ia menutup matanya yang terasa perih. Ia ingin menangis.
Ternyata tanpa Kiara sadari, ada seseorang yang merasakan perasaan yang sama dengannya. Perasaan yang penuh akan balutan rindu. Rindu akan semua hal yang telah terjadi dahulu, merindukan semua kebahagiaan yang selalu mewarnai mereka, berdua.
❄
Drrrt...drrrt...drrrt...
Arga yang baru saja turun dari motornya mendengar getaran di dalam saku celananya. Yaps, ada orang yang menelpon. Arga segera mengambil handphone-nya, ia melihat sekilas ke arah nama yang tertera di layar handphonenya dan langsung mengangkatnya dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak.
"Gimana? Lo udah dapat?" Arga mengawali pembicaraannya.
"......."
"Terus kapan pengiriman ke Jakarta?"
"......"
"Nggak bisa hari ini?"
"......."
"Yaudah, pokoknya besok sepulang sekolah tuh paket harus udah ada di tangan gue!"
"......."
"Tapi aman kan? Kita nggak bakalan ketauan?"
"......."
"Iya iya! Gue bakalan bayar banyak. Gue orang kaya. Pokoknya orang lain nggak boleh tahu tentang keberadaan paket itu!"
"......"
"Iya. Thanks bro!"
Tut.
❄
"WOY! ADA ORANG NGGAK DI DALEM? GUE KEBELET NIH MAU BOKER!!!"
Suara teriakan disertai dobrakan pintu itu seketika membuka kedua mata Abadi. Lelaki itu berusaha kembali menetralkan detak jantungnya dan juga nafasnya, suara keras itu mampu mengejutkan Abadi dan membuat rasa sakit itu terbit kembali.
Abadi tersenyum perih ketika ia menyadari kalau ia tadi pingsan. Sebegitu lemahnya kah ia sekarang?
"Woy lahhh di sini ada orang nggak sih?"
Abadi kemudian berusaha berdiri walaupun kepalanya masih terasa berat. Ia perlahan memutar kunci pintu toilet itu yang terkunci dari dalam dan membuka pintu itu.
"Eh lo ternyata. Lo lama banget anjim! Duh, udah keluar juga nih si kuning. Minggir buruan aah!"
Gubrak!
Pintu kamar mandi itu ditutup dengan keras oleh siswa tadi, mungkin sudah sangat tidak tahan.
Abadi melirik bilik lain, tampak kosong. Kenapa orang tadi tidak menggunakan bilik yang lain saja?
"Orang aneh." Abadi bergumam dan langsung pergi.
Di dalam kelas ia diintrogasi oleh Pak Geta, guru Matematika yang mengisi mapel pada pagi ini.
"Kamu ke mana aja baru masuk? Pelajaran Bapak sudah mulai satu jam-an yang lalu dan sekarang kamu baru datang!" tatapan tajam Pak Geta seakan menusuk kedua mata Abadi yang menatapnya.
"Maaf Pak."
Pak Geta tampak tak percaya dengan apa yang diucapkan Abadi barusan. Maaf Pak? Dari mana Abadi belajar kata itu? Mungkin itu yang ada di pikiran Pak Geta. Ini adalah pertama kalinya Abadi mengucapkan kata maaf pada orang lain, selain Kiara tentunya.
"Ka...kamu? Kamu bilang apa tadi?" Pak Geta tampak masih belum percaya dengan ucapan Abadi barusan.
"Maaf Pak. Tadi saya ke toilet sebentar," jawab Abadi.
"Maafkan Bapak juga, saya tidak percaya dengan ucapan kamu. Saya tidak akan luluh dengan ucapanmu. Saya tahu itu hanya trik kamu 'kan? Itu trik kamu agar kamu mendapat simpati dari saya? Berandal kayak kamu mana bisa mengucapkan maaf dengan ikhlas. Sekarang, kamu keluar dari pelajaran saya."
"Baik, Pak."
Abadi langsung keluar begitu saja dari kelasnya. Ia sudah lelah sekarang, lelah untuk berdebat atau pun mengajukan alasan. Toh juga tidak ada yang mempercayainya. Semua ucapan yang keluar dari mulut Abadi dianggap sebagai suatu kebohongan.
TBC.
HAIIIII🤗
Akhirnya setelah sekian lama aku kembaliii hehe😁
Maaf ya aku kalau update suka ngaret😭
Btw terimakasi banyak buat yang udah nunggu aku up aaaa i love you so much guys😭💚
Jangan lupa voment-nya yaaa💜Iluvu💜
Seeyou💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Abadi [LENGKAP]
Teen FictionLembaran kisah Abadi, laki-laki rapuh yang berlagak paling kuat. WARNING!!! If you have entered into an ABADI story, then it is difficult for you to get out of this extraordinary story. (Jadi, sebelum membaca, siapin emosi aja dulu. Hehehe-,-) *Imag...