#7. SALING MENGERTI

242 19 4
                                    

"Mau nambah lagi, sayang?" tanya Hana pada Arga.

Arga menggeleng dengan mulutnya yang terus mengunyah. "Nyantyi dyulyu."

Dimas yang tengah menyuapi nasi gorengnya pun tersenyum. Ia mengelus puncak kepala putranya itu. "Telen dulu makanan kamu."

Arga mengangguk sambil tersenyum.

"Abadi! Kamu buat minuman aja lama banget sih! Dasar anak nggak becus!" oceh Hana yang berada di meja makan, bersama Arga dan Dimas.

"I...iya Bun...!" ucap Abadi setengah berteriak.

Tidak lama kemudian, Abadi datang dengan membawa tiga gelas susu. Lelaki itu pun menaruh tiga gelas susu itu di atas meja. Ya, mereka memang tidak mempunya pembantu atau ART. Dimas sengaja, karena ia ingin Abadi-lah yang menerjakan pekerjaan rumah semuanya.

"Pergi kamu! Ngapain di sini terus! Liat muka kamu aja saya jadi nggak nafsu makan!" cerca Dimas.

Abadi memundurkan langkahnya kemudian berbalik, ia kembali ke arah dapur untuk membereskan peralatan masaknya. Walaupun Abadi adalah seorang badboy ulung di sekolahnya, tapi di rumahnya ia menjadi pribadi yang baik. Seperti sekarang ini, ia memasak untuk keluarganya. Ya, Abadi menjadi seorang lelaki yang serba bisa, bisa memasak, mencuci piring, mencuci pakaian, menyetrika, dan pekerjaan rumah lainnya. Tanpa orang lain ketahui, hal inilah yang membuat Abadi terlambat ke sekolah setiap hari, karena ia harus mengerjakan pekerjaan rumah terlebih dahulu.

Setelah selesai beres-beres, Abadi melepas celemeknya. Ia pun bergegas ke kamar mandi untuk bersiap-siap pergi ke sekolah.

"Langganan BK udah dateng," sindir Devan, sang Ketua Osis yang biasanya memantau belakang sekolah, selain Bu Bertha.

Abadi yang baru saja melompat dari tembok itu pun mendengus. "Bukan urusan lo."

Devan tersenyum. Sebuah senyuman sinis. "Lo mau dihukum kayak gimana lagi? Semua jenis hukuman yang ada di sekolah ini udah lo rasain kan?"

Abadi tak menjawab. Ia hanya menatap lelaki di depannya itu dengan tatapan datar.

"Lo keliling lapangan seratus kali!" tegas Devan.

"Udah basi!"

"Dua ratus kali!"

"Satu kali aja," nego Abadi.

"Nggak!" tolak Devan.

Bukh.

"Ban*sat!" umpat Abadi setelah ia melayangkan satu bogeman mentah pada Ketua Osis itu.

Dugh.

Devan menendang dada bidang Abadi hingga laki-laki itu tersungkur. "Lo nggak boleh kasar sama gue!"

"Set*n!"

Bukh. Bukh. Bukh.

Abadi melayangkan pukulan bertubi-tubinya pada Devan.

"Kata siapa gue nggak boleh kasar sama lo? Ha? Kata siapa? Anj*ng!"

Bukh. Bukh. Bukh.

Abadi terus meninju wajah Devan.

"Stop!" pekik Iqbal. Seorang Wakil Ketua Osis yang turut memantau keadaan sekolah.

Iqbal segera menarik Abadi agar lelaki itu jauh dari sahabatnya.

"Stop! Bren*sek!" tegas Iqbal.

Abadi menghentikan pukulannya pada Devan. Ia kini beralih menatap Iqbal. "Apa lo? Mau jadi pahlawan kesiangan?"

Abadi [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang